Hukum Perjanjian merupakan hukum tambahan. Bagaimana apabila suatu ketika sesuatu hal tidak diatur dalam suatu perjanjian? Umpamanya mengenai perjanjian jual beli, mengenai pembayaran harus dilakukan di tempat tinggal kreditur. Tetapi ini tidak diatur dalam perjanjian; dan ternyata dalam suatu kota di mana diadakan perjanjian ada suatu kebiasaan bahwa pembayaran tidak dilakukan di tempat tinggal kreditur, tetapi di tempat tinggal debitur. Apakah yang berlaku? Hukum kebiasaan atau hukum tambahan? Di sini timbul beberapa soal. Kalau perbedaan antara hukum memaksa dan hukum kebiasaan, terang hukum memaksa yang berlaku, karena hukum memaksa merupakan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak dapat dikesampingkan bagaimana pun juga; tetapi hukum tambahan merupakan ketentuan-ketentuan hukum yang baru berlaku apabila tentang suatu soal tidak ada syarat-syarat tersendiri dalam suatu perjanjian. Tetapi untuk soal itu mungkin ada hukum kebiasaan yang lain dari hukum tambahan; bagaimana dalam hal demikian?
Menurut Prof. Mr. W. L. P. A. MOLENGRAAFF (seorang ahli Hukum Dagang terkemuka), seperti juga ASSER-SCHOLTEN, berpendapat, bahwa dalam hal demikian yang berlaku kebiasaan. Akan tetapi pada umumnya ahli-ahli hukum berpendapat, bahwa dalam hal demikian yang berlaku hukum tambahan.
Prof. Mr. J. KOSTERS berpendapat, bahwa dalam hal demikian kebiasaan harus berlaku, apabila ternyata bahwa pihak-pihak yang bersangkutan pada waktu mengadakan perjanjian yang bersangkutan telah mengenal kebiasaan mengenai soal tersebut.
Seorang guru besar lain, Prof. Mr. PH. A. N. HOUWING berpendapat lain. Menurut HOUWING, yang penting ialah maksud pihak-pihak yang bersangkutan. Maksud itu yang akan menentukan; tetapi bukan maksud sebenarnya dari kedua belah pihak, tetapi maksud mereka apabila mereka memperhatikan keadilan dan itikad baik. Apabila waktu mengadakan perjanjian memperhatikan keadilan dan itikad baik apakah maksud mereka? Apabila maksud mereka yang akan berlaku hukum tambahan, maka berlaku hukum tambahan.
Prof. Mr. LIE OEN HOCK berpendapat, bahwa dalam hal demikian yang berlaku kebiasaan, apabila kebiasaan itu dikenal oleh pihak-pihak yang bersangkutan pada waktu mereka mengadakan perjanjian itu, dan apabila dari maksud pihak-pihak yang bersangkutan tidak ternyata sebaliknya.
Pada kuliah penghabisan telah dibicarakan apakah yang harus berlaku apabila kebiasaan bertentangan dengan hukum tambahan. Pada waktu itu telah dibicarakan beberapa teori.
Yang menjadi pertanyaan yaitu, apakah yang harus berlaku apabila kebiasaan bertentangan dengan hukum memaksa? Dalam hal ini, tidak bisa tidak yang berlaku hukum memaksa.
Akan dibicarakan satu contoh: Adalah suatu kebiasaan apabila seorang telah berjudi dan kalah, bahwa ia membayar hutangnya itu; ini suatu kebiasaan. Tetapi apabila ada penjudi yang setelah kalah tidak mau membayar hutangnya (kekalahannya) itu, dengan sendirinya tidak dapat dituntut di depan hakim supaya penjudi yang kalah dihukum membayarnya. Ini tidak mungkin karena bertentangan dengan pasal 1788 Kitab Undang-Undang Perdata yang menetapkan sebagai berikut: “Undang-undang tidak memberikan suatu tuntutan hukum dalam halnya suatu hutang yang terjadi karena penjudian atau pertaruhan.
SUMBER-SUMBER HUKUM (9)
Hukum Perjanjian merupakan hukum tambahan. Bagaimana apabila suatu ketika sesuatu hal tidak diatur dalam suatu perjanjian? Umpamanya mengenai perjanjian jual beli, mengenai pembayaran harus dilakukan di tempat tinggal kreditur. Tetapi ini tidak diatur dalam perjanjian; dan ternyata dalam suatu kota di mana diadakan perjanjian ada suatu kebiasaan bahwa pembayaran tidak dilakukan di tempat tinggal kreditur, tetapi di tempat tinggal debitur. Apakah yang berlaku? Hukum kebiasaan atau hukum tambahan? Di sini timbul beberapa soal. Kalau perbedaan antara hukum memaksa dan hukum kebiasaan, terang hukum memaksa yang berlaku, karena hukum memaksa merupakan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak dapat dikesampingkan bagaimana pun juga; tetapi hukum tambahan merupakan ketentuan-ketentuan hukum yang baru berlaku apabila tentang suatu soal tidak ada syarat-syarat tersendiri dalam suatu perjanjian. Tetapi untuk soal itu mungkin ada hukum kebiasaan yang lain dari hukum tambahan; bagaimana dalam hal demikian?
Menurut Prof. Mr. W. L. P. A. MOLENGRAAFF (seorang ahli Hukum Dagang terkemuka), seperti juga ASSER-SCHOLTEN, berpendapat, bahwa dalam hal demikian yang berlaku kebiasaan. Akan tetapi pada umumnya ahli-ahli hukum berpendapat, bahwa dalam hal demikian yang berlaku hukum tambahan.
Prof. Mr. J. KOSTERS berpendapat, bahwa dalam hal demikian kebiasaan harus berlaku, apabila ternyata bahwa pihak-pihak yang bersangkutan pada waktu mengadakan perjanjian yang bersangkutan telah mengenal kebiasaan mengenai soal tersebut.
Seorang guru besar lain, Prof. Mr. PH. A. N. HOUWING berpendapat lain. Menurut HOUWING, yang penting ialah maksud pihak-pihak yang bersangkutan. Maksud itu yang akan menentukan; tetapi bukan maksud sebenarnya dari kedua belah pihak, tetapi maksud mereka apabila mereka memperhatikan keadilan dan itikad baik. Apabila waktu mengadakan perjanjian memperhatikan keadilan dan itikad baik apakah maksud mereka? Apabila maksud mereka yang akan berlaku hukum tambahan, maka berlaku hukum tambahan.
Prof. Mr. LIE OEN HOCK berpendapat, bahwa dalam hal demikian yang berlaku kebiasaan, apabila kebiasaan itu dikenal oleh pihak-pihak yang bersangkutan pada waktu mereka mengadakan perjanjian itu, dan apabila dari maksud pihak-pihak yang bersangkutan tidak ternyata sebaliknya.
Pada kuliah penghabisan telah dibicarakan apakah yang harus berlaku apabila kebiasaan bertentangan dengan hukum tambahan. Pada waktu itu telah dibicarakan beberapa teori.
Yang menjadi pertanyaan yaitu, apakah yang harus berlaku apabila kebiasaan bertentangan dengan hukum memaksa? Dalam hal ini, tidak bisa tidak yang berlaku hukum memaksa.
Akan dibicarakan satu contoh: Adalah suatu kebiasaan apabila seorang telah berjudi dan kalah, bahwa ia membayar hutangnya itu; ini suatu kebiasaan. Tetapi apabila ada penjudi yang setelah kalah tidak mau membayar hutangnya (kekalahannya) itu, dengan sendirinya tidak dapat dituntut di depan hakim supaya penjudi yang kalah dihukum membayarnya. Ini tidak mungkin karena bertentangan dengan pasal 1788 Kitab Undang-Undang Perdata yang menetapkan sebagai berikut: “Undang-undang tidak memberikan suatu tuntutan hukum dalam halnya suatu hutang yang terjadi karena penjudian atau pertaruhan.
(bersambung)
Bagikan ini:
Most visitors also read :
BAB I: ISTILAH HUKUM PIDANA
SUMBER-SUMBER HUKUM (25)
SUMBER-SUMBER HUKUM (24)
SUMBER-SUMBER HUKUM (23)