Jadi memang diakui pendapat Prof. Mr. I. H. HIJMANS bahwa pendapat guru besar yang satu bertentangan dengan pendapat guru besar yang lain. Prof. Mr. LIE OEN HOCK mengakui, bahwa dalam undang-undang kita tidak terdapat satu pasal seperti dalam Kitab Undang-Undang Perdata Swiss dan Turki yang menetapkan, bahwa hakim apabila dalam undang-undang terdapat kekurangan-kekurangan, pada waktu mencari hukum harus memperhatikan (apabila kebiasaan tidak dapat menolongnya) di sampingnya yurisprudensi juga doktrin. Akan tetapi walaupun tidak ada ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Perdata kita dan Kitab Undang-Undang Perdata Belanda seperti ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Perdata Swiss dan Turki dalam pasal 1, walaupun demikian tidak dapat disangkal, bahwa pengaruh ilmu pengetahuan, juga bagi hakim Indonesia, sangat besar, seperti di negeri Belanda dan Inggris. Di Inggris (di mana seperti telah dikemukakan pada waktu membicarakan yurisprudensi sebagai sumber hukum) sangat diutamakan yurisprudensi, juga di samping itu ilmu pengetahuan toch mempunyai pengaruh yang besar, seperti umpamanya dalam bidang Hukum Privat Internasional, dan dengan sendirinya mengenai teori-teori umum tentang Hukum Perdata.
Sebagai contoh betapa besarnya pengaruh seorang guru besar (doktrin) dapat ditunjuk pada suatu karangan dari Prof. Mr. W. L. P. A. MOLENGRAFF (seorang ahli hukum dagang terkemuka; bukunya merupakan standaardwerk), dalam karangan mana MOLENGRAFF mengupas arti perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) yang terdapat dalam pasal 1401 Kitab Undang-Undang Perdata Belanda (= pasal 1365 Kitab Undang-Undang Perdata kita). Dalam pengupasan itu MOLENGRAAFF telah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pembentuk undang-undang Belanda. Demikian besarnya, sehingga pembentuk undang-undang Belanda berikhtiar mengubah semua ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Perdata mengenai perbuatan melanggar hukum.
Bila memperhatikan pendapat Mahkamah Tertinggi mengenai perbuatan melanggar hukum, mula-mula demikian sempit sehingga seringkali tidak memuaskan. Dengan putusan tanggal 6 April 1883 (terdapat dalam “Weekblad van het Recht” 4901) dari Mahkamah Tertinggi, maka menurut yurisprudensi tetap baik di negeri Belanda maupun di Indonesia, suatu perbuatan melanggar hukum adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan suatu kewajiban menurut hukum dari orang yang melakukan perbuatan itu atau suatu perbuatan yang melanggar hak orang lain. Dan “kewajiban menurut hukum” itu yang dimaksudkan oleh Mahkamah Tertinggi adalah kewajiban menurut undang-undang. Dan “hak orang lain” itu yaitu melanggar hak orang lain menurut undang-undang.
Pendapat ini terang merupakan pendapat yang sangat sempit karena dengan menafsirkan pasal 1401 Kitab Undang-Undang Perdata Belanda itu, maka banyak hal-hal yang harus kita cela tidak merupakan perbuatan melanggar hukum, dan dari pihak yang telah melakukan itu tidak dapat dituntut ganti kerugian ex pasal 1401 Kitab Undang-Undang Perdata Belanda (= 1365 Kitab Undang-Undang Perdata Indonesia). Demikianlah, persaingan curang, sebelum ada pasal 382 bis KUHP tidak memberi hak pada pihak yang telah dirugikan untuk menuntut ganti kerugian.
SUMBER-SUMBER HUKUM (17)
Jadi memang diakui pendapat Prof. Mr. I. H. HIJMANS bahwa pendapat guru besar yang satu bertentangan dengan pendapat guru besar yang lain. Prof. Mr. LIE OEN HOCK mengakui, bahwa dalam undang-undang kita tidak terdapat satu pasal seperti dalam Kitab Undang-Undang Perdata Swiss dan Turki yang menetapkan, bahwa hakim apabila dalam undang-undang terdapat kekurangan-kekurangan, pada waktu mencari hukum harus memperhatikan (apabila kebiasaan tidak dapat menolongnya) di sampingnya yurisprudensi juga doktrin. Akan tetapi walaupun tidak ada ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Perdata kita dan Kitab Undang-Undang Perdata Belanda seperti ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Perdata Swiss dan Turki dalam pasal 1, walaupun demikian tidak dapat disangkal, bahwa pengaruh ilmu pengetahuan, juga bagi hakim Indonesia, sangat besar, seperti di negeri Belanda dan Inggris. Di Inggris (di mana seperti telah dikemukakan pada waktu membicarakan yurisprudensi sebagai sumber hukum) sangat diutamakan yurisprudensi, juga di samping itu ilmu pengetahuan toch mempunyai pengaruh yang besar, seperti umpamanya dalam bidang Hukum Privat Internasional, dan dengan sendirinya mengenai teori-teori umum tentang Hukum Perdata.
Sebagai contoh betapa besarnya pengaruh seorang guru besar (doktrin) dapat ditunjuk pada suatu karangan dari Prof. Mr. W. L. P. A. MOLENGRAFF (seorang ahli hukum dagang terkemuka; bukunya merupakan standaardwerk), dalam karangan mana MOLENGRAFF mengupas arti perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) yang terdapat dalam pasal 1401 Kitab Undang-Undang Perdata Belanda (= pasal 1365 Kitab Undang-Undang Perdata kita). Dalam pengupasan itu MOLENGRAAFF telah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pembentuk undang-undang Belanda. Demikian besarnya, sehingga pembentuk undang-undang Belanda berikhtiar mengubah semua ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Perdata mengenai perbuatan melanggar hukum.
Bila memperhatikan pendapat Mahkamah Tertinggi mengenai perbuatan melanggar hukum, mula-mula demikian sempit sehingga seringkali tidak memuaskan. Dengan putusan tanggal 6 April 1883 (terdapat dalam “Weekblad van het Recht” 4901) dari Mahkamah Tertinggi, maka menurut yurisprudensi tetap baik di negeri Belanda maupun di Indonesia, suatu perbuatan melanggar hukum adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan suatu kewajiban menurut hukum dari orang yang melakukan perbuatan itu atau suatu perbuatan yang melanggar hak orang lain. Dan “kewajiban menurut hukum” itu yang dimaksudkan oleh Mahkamah Tertinggi adalah kewajiban menurut undang-undang. Dan “hak orang lain” itu yaitu melanggar hak orang lain menurut undang-undang.
Pendapat ini terang merupakan pendapat yang sangat sempit karena dengan menafsirkan pasal 1401 Kitab Undang-Undang Perdata Belanda itu, maka banyak hal-hal yang harus kita cela tidak merupakan perbuatan melanggar hukum, dan dari pihak yang telah melakukan itu tidak dapat dituntut ganti kerugian ex pasal 1401 Kitab Undang-Undang Perdata Belanda (= 1365 Kitab Undang-Undang Perdata Indonesia). Demikianlah, persaingan curang, sebelum ada pasal 382 bis KUHP tidak memberi hak pada pihak yang telah dirugikan untuk menuntut ganti kerugian.
Bagikan ini:
Most visitors also read :
BAB I: ISTILAH HUKUM PIDANA
SUMBER-SUMBER HUKUM (25)
SUMBER-SUMBER HUKUM (24)
SUMBER-SUMBER HUKUM (23)