Pernah Prof. Mr. LIE OEN HOCK harus memberi putusan untuk perkara yang sangat penting yaitu mengenai soal perceraian antara 2 warga negara RRT. Seperti saudara tahu, menurut Kitab Undang-Undang Perdata kita, suatu perceraian hanya dapat dimohon atas alasan-alasan yang ditetapkan dalam undang-undang. Dan undang-undang kita dengan tegas menetapkan bahwa perceraian tidak mungkin atas persetujuan kedua pihak. Tetapi bila membaca undang-undang perkawinan RRT, maka perceraian atas persetujuan 2 pihak justru diperbolehkan. Ini ditetapkan dalam pasal 17 undang-undang perkawinan RRT yang menetapkan, bahwa perceraian dapat diberikan apabila suami dan istri kedua-duanya menginginkannya. Undang-undang kita menetapkan dalam pasal 208 Kitab Undang-Undang Perdata bahwa hal itu tidak mungkin. Dalam pasal 209 Kitab Undang-Undang Perdata ditetapkan alasan-alasan untuk menuntut perceraian.
Sekarang diajukan suatu perkara pada Prof. Mr. LIE OEN HOCK oleh seorang pengacara yang dulu menjadi guru besar dalam mata kuliah Hukum Acara Perdata, yaitu Prof. Mr. TING SWAN TIONG. Pengacara itu menerangkan, bahwa akan diajukan suatu perkara walaupun tidak diizinkan, dan akan dimohon banding dan kalau perlu kasasi pada Mahkamah Agung. Prof. Mr. TING SWAN TIONG bertanya, karena apa tidak diizinkan mengajukan perkara itu? Karena larangan dalam pasal 208 Kitab Undang-Undang Perdata. Pengacaranya bertanya lagi karena apa tidak berani memberi dispensasi pada pasal 208 Kitab Undang-Undang Perdata? Prof. Mr. LIE OEN HOCK menjawab, bahwa pasal 208 Kitab Undang-Undang Perdata adalah mengenai ketertiban umum, jadi tidak boleh dikesampingkan oleh hakim. Pengacaranya mufakat bahwa pasal 208 Kitab Undang-Undang Perdata mengenai ketertiban umum dan tidak boleh dikesampingkan oleh hakim. Tetapi pasal itu tidak berlaku, karena untuk menetapkan ketentuan umum harus diperhatikan hukum yang berlaku bagi golongan terbesar. Dan yang terbesar adalah golongan Indonesia asli yang menganut agama Islam; dan menurut agama Islam seorang istri dapat ditalak begitu saja oleh suaminya (jadi hanya dari satu pihak). Kalau ditalak dari satu pihak dapat, jadi apalagi dengan persetujuan kedua pihak.
Terhadap uraian pengacara (Prof. Mr. TING SWAN TIONG) itu, Prof. Mr. LIE OEN HOCK menolak. Prof. Mr. LIE OEN HOCK menetapkan hukum mana yang berlaku dan yang tidak berlaku yaitu hukum perkawinan RRT. Di sini beliau menciptakan sesuatu yang baru. Memang berlaku hukum perkawinan RRT, hanya saja hukum perkawinan RRT itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia untuk soal itu. Bagi orang RRT bila berada di Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia, mereka tidak termasuk golongan Indonesia asli, tetapi golongan keturunan Tionghoa, untuk siapa berlaku Kitab Undang-Undang Perdata dan tidak hukum Islam; jadi pasal 208 Kitab Undang-Undang Perdata berlaku dalam soal ini. Jadi permintaan pengacaranya ditolak. Sayang tidak ada diajukan banding.
Di sini dapat dilihat, dalam Hukum Privat Internasional, di mana hanya ada beberapa ketentuan, maka hakim selalu harus mencipta sendiri sesuatu yang baru. Lebih sulit lagi umpamanya seorang Jerman mengadakan suatu perjanjian jual-beli dengan seorang Inggris di Jakarta , hukum mana yang berlaku? Apakah Kitab Undang-Undang Perdata kita, atau hukum Inggris, ataukah hukum Jerman? Hakim yang harus menentukan. Terang dalam hal ini hakim turut mencipta sesuatu yang baru. Hakim turut mencipta hukum.
— oOo —
“Iedereen vertrouwen is even dwaas als niemand vertrouwen”
SOAL MENEMUI HUKUM (8)
Pernah Prof. Mr. LIE OEN HOCK harus memberi putusan untuk perkara yang sangat penting yaitu mengenai soal perceraian antara 2 warga negara RRT. Seperti saudara tahu, menurut Kitab Undang-Undang Perdata kita, suatu perceraian hanya dapat dimohon atas alasan-alasan yang ditetapkan dalam undang-undang. Dan undang-undang kita dengan tegas menetapkan bahwa perceraian tidak mungkin atas persetujuan kedua pihak. Tetapi bila membaca undang-undang perkawinan RRT, maka perceraian atas persetujuan 2 pihak justru diperbolehkan. Ini ditetapkan dalam pasal 17 undang-undang perkawinan RRT yang menetapkan, bahwa perceraian dapat diberikan apabila suami dan istri kedua-duanya menginginkannya. Undang-undang kita menetapkan dalam pasal 208 Kitab Undang-Undang Perdata bahwa hal itu tidak mungkin. Dalam pasal 209 Kitab Undang-Undang Perdata ditetapkan alasan-alasan untuk menuntut perceraian.
Sekarang diajukan suatu perkara pada Prof. Mr. LIE OEN HOCK oleh seorang pengacara yang dulu menjadi guru besar dalam mata kuliah Hukum Acara Perdata, yaitu Prof. Mr. TING SWAN TIONG. Pengacara itu menerangkan, bahwa akan diajukan suatu perkara walaupun tidak diizinkan, dan akan dimohon banding dan kalau perlu kasasi pada Mahkamah Agung. Prof. Mr. TING SWAN TIONG bertanya, karena apa tidak diizinkan mengajukan perkara itu? Karena larangan dalam pasal 208 Kitab Undang-Undang Perdata. Pengacaranya bertanya lagi karena apa tidak berani memberi dispensasi pada pasal 208 Kitab Undang-Undang Perdata? Prof. Mr. LIE OEN HOCK menjawab, bahwa pasal 208 Kitab Undang-Undang Perdata adalah mengenai ketertiban umum, jadi tidak boleh dikesampingkan oleh hakim. Pengacaranya mufakat bahwa pasal 208 Kitab Undang-Undang Perdata mengenai ketertiban umum dan tidak boleh dikesampingkan oleh hakim. Tetapi pasal itu tidak berlaku, karena untuk menetapkan ketentuan umum harus diperhatikan hukum yang berlaku bagi golongan terbesar. Dan yang terbesar adalah golongan Indonesia asli yang menganut agama Islam; dan menurut agama Islam seorang istri dapat ditalak begitu saja oleh suaminya (jadi hanya dari satu pihak). Kalau ditalak dari satu pihak dapat, jadi apalagi dengan persetujuan kedua pihak.
Terhadap uraian pengacara (Prof. Mr. TING SWAN TIONG) itu, Prof. Mr. LIE OEN HOCK menolak. Prof. Mr. LIE OEN HOCK menetapkan hukum mana yang berlaku dan yang tidak berlaku yaitu hukum perkawinan RRT. Di sini beliau menciptakan sesuatu yang baru. Memang berlaku hukum perkawinan RRT, hanya saja hukum perkawinan RRT itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia untuk soal itu. Bagi orang RRT bila berada di Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia, mereka tidak termasuk golongan Indonesia asli, tetapi golongan keturunan Tionghoa, untuk siapa berlaku Kitab Undang-Undang Perdata dan tidak hukum Islam; jadi pasal 208 Kitab Undang-Undang Perdata berlaku dalam soal ini. Jadi permintaan pengacaranya ditolak. Sayang tidak ada diajukan banding.
Di sini dapat dilihat, dalam Hukum Privat Internasional, di mana hanya ada beberapa ketentuan, maka hakim selalu harus mencipta sendiri sesuatu yang baru. Lebih sulit lagi umpamanya seorang Jerman mengadakan suatu perjanjian jual-beli dengan seorang Inggris di Jakarta , hukum mana yang berlaku? Apakah Kitab Undang-Undang Perdata kita, atau hukum Inggris, ataukah hukum Jerman? Hakim yang harus menentukan. Terang dalam hal ini hakim turut mencipta sesuatu yang baru. Hakim turut mencipta hukum.
— oOo —
“Iedereen vertrouwen is even dwaas als niemand vertrouwen”
Bagikan ini:
Most visitors also read :
BAB I: ISTILAH HUKUM PIDANA
SUMBER-SUMBER HUKUM (25)
SUMBER-SUMBER HUKUM (24)
SUMBER-SUMBER HUKUM (23)