Tadi disebut ROUSSEAU yang memberi dukungan pada pendapat kuno. ROUSSEAU dengan teorinya mengenai kedaulatan rakyat menerangkan bahwa kekuasaan tertinggi dalam suatu negara ada dalam tangan rakyat. Dan oleh karena fungsi tertinggi ialah mencipta undang-undang, maka dengan sendirinya kekuasaan langsung harus berada pada tangan rakyat. Dengan kata-kata lain rakyat yang dapat membuat undang-undang, hakim tidak berhak; hakim hanya menggunakan undang-undang tanpa penafsiran.
Apa yang terjadi di negeri Perancis juga terjadi di negeri Jerman, Belgia, Swiss, Belanda; yaitu setelah terbentuk Code NAPOLEON lama-lama juga di negara-negara itu dibentuk kitab-kitab undang-undang. Dan juga di negara-negara itu setelah terbentuk kitab-kitab undang-undang orang mengira bahwa tidak ada hukum di luar undang-undang; sumber satu-satunya hukum yaitu undang-undang. Seorang ahli hukum bangsa Jerman, Dr. FRIEDERICHS, menerangkan bahwa Kitab Undang-Undang Perdata Jerman memberi jawaban untuk semua pertanyaan. Juga di negeri Belanda ada ahli hukum yang mengemukakan pendapat yang sama dengan yang dikemukakan oleh Dr. FRIEDERICHS dari Jerman, yaitu Jhr. Mr. O. Q. VAN SWINDEREN.
Jadi menurut pendapat kuno itu sumber satu-satunya hukum yaitu undang-undang; hakim tidak dapat mencipta hukum; hakim tidak lain daripada suatu “subsumptieautomaat”; hakim tidak lain bertugas: Apabila mendapat perkara untuk diputus, maka kalau mencari undang-undang untuk soal itu selalu ada, dan harus menganalisa ketentuan-ketentuan undang-undang itu, dan dengan jalan deduksi-logis mempergunakan ketentuan-ketentuan itu untuk perkara yang harus diputus. Undang-undang selalu lengkap dan jelas; tidak ada “Lücken” (kekurangan-kekurangan) dalam undang-undang.
Tetapi yang mengherankan, pendapat kuno ini tidak merupakan pendapat perancang Code Civil. Tidak kurang dari PORTALIS sendiri (salah seorang perancang terkemuka dari Code Civil) menasihatkan dan minta perhatian ahli-ahli hukum bahwa Code Civil atau Code NAPOLÉON yang telah ditetapkan adalah tidak lengkap dan juga tidak jelas. Walaupun ada nasihat PORTALIS, baik di Perancis maupun di negara-negara lain banyak pengaruh dari teori kuno yang menerangkan bahwa satu-satunya sumber hukum ialah undang-undang. Dan mereka hanya menganalisa undang-undang, tidak mencipta hukum baru. Ini justru keliru. Tetapi untung lama-kelamaan ada reaksi terhadap pendapat kuno yang datangnya terutama dari ahli-ahli hukum Jerman yang dipelopori oleh:
HERMANN KANTOROWICZ
EUGEN EHRLICH
OSCAR BULOW
FUCHS
yang dinamakan “Freirechtsschule”. Freirechtstheorie mengatakan, bahwa di samping undang-undang ada sumber-sumber hukum lain . Bila hakim sedang memutus perkara dan tidak menemui hukumnya, harus mencarinya di luar undang-undang. Teori Hukum Bebas ini dibagi dalam 2 aliran, yaitu:
Teori Hukum Bebas Sosiologis, yang berpendapat bahwa sumber hukum bebas ialah gejala-gejala dalam masyarakat, kebiasaan-kebiasaan kemasyarakatan.
Teori Hukum Bebas Natuurrechtelijk, yang menerangkan bahwa sumber hukum bebas yaitu hukum alam.
Pada kuliah yang lalu telah dikemukakan bahwa menurut penganut-penganut dari teori kuno semua hukum terdapat dalam undang-undang; sumber satu-satunya hukum yaitu undang-undang; pekerjaan seorang hakim tidak lain daripada mengucapkan kata-kata yang terdapat dalam undang-undang. Pendapat ini, walaupun sekarang telah dilepaskan, masih dapat dibaca dalam undang-undang. Pertama-tama dalam pasal 22 AB (Algemene Bepalingen van wetgeving) yang menetapkan sebagai berikut: “Seorang hakim yang menolak memberi peradilan dengan alasan dalam undang-undang tidak terdapat ketentuan, undang-undang tidak jelas atau undang-undang tidak lengkap, dapat dituntut karena keengganan mengadili.” Jadi di sini dapat dibaca pendapat kuno. Apabila membaca pasal 22 AB maka bagi pembentuk undang-undang tidak mungkin apabila ada suatu perkara yang harus diadili hakim lalu hakim berkata: “Saya tidak dapat mengadili karena tidak ada undang-undang”. Ini tidak mungkin; hakim harus memberi peradilan.
Juga dalam RO (Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesië), yang sekarang sebagian besar tidak berlaku, yaitu dalam pasal 116 j masih dapat dilihat pendapat kuno itu; yaitu di mana pembentuk undang-undang menyebut bahwa kasasi dapat dimohon demi kepentingan undang-undang. Jadi kasasi tidak demi kepastian hukum, tetapi demi kepastian undang-undang.
SOAL MENEMUI HUKUM (2)
Tadi disebut ROUSSEAU yang memberi dukungan pada pendapat kuno. ROUSSEAU dengan teorinya mengenai kedaulatan rakyat menerangkan bahwa kekuasaan tertinggi dalam suatu negara ada dalam tangan rakyat. Dan oleh karena fungsi tertinggi ialah mencipta undang-undang, maka dengan sendirinya kekuasaan langsung harus berada pada tangan rakyat. Dengan kata-kata lain rakyat yang dapat membuat undang-undang, hakim tidak berhak; hakim hanya menggunakan undang-undang tanpa penafsiran.
Apa yang terjadi di negeri Perancis juga terjadi di negeri Jerman, Belgia, Swiss, Belanda; yaitu setelah terbentuk Code NAPOLEON lama-lama juga di negara-negara itu dibentuk kitab-kitab undang-undang. Dan juga di negara-negara itu setelah terbentuk kitab-kitab undang-undang orang mengira bahwa tidak ada hukum di luar undang-undang; sumber satu-satunya hukum yaitu undang-undang. Seorang ahli hukum bangsa Jerman, Dr. FRIEDERICHS, menerangkan bahwa Kitab Undang-Undang Perdata Jerman memberi jawaban untuk semua pertanyaan. Juga di negeri Belanda ada ahli hukum yang mengemukakan pendapat yang sama dengan yang dikemukakan oleh Dr. FRIEDERICHS dari Jerman, yaitu Jhr. Mr. O. Q. VAN SWINDEREN.
Jadi menurut pendapat kuno itu sumber satu-satunya hukum yaitu undang-undang; hakim tidak dapat mencipta hukum; hakim tidak lain daripada suatu “subsumptieautomaat”; hakim tidak lain bertugas: Apabila mendapat perkara untuk diputus, maka kalau mencari undang-undang untuk soal itu selalu ada, dan harus menganalisa ketentuan-ketentuan undang-undang itu, dan dengan jalan deduksi-logis mempergunakan ketentuan-ketentuan itu untuk perkara yang harus diputus. Undang-undang selalu lengkap dan jelas; tidak ada “Lücken” (kekurangan-kekurangan) dalam undang-undang.
Tetapi yang mengherankan, pendapat kuno ini tidak merupakan pendapat perancang Code Civil. Tidak kurang dari PORTALIS sendiri (salah seorang perancang terkemuka dari Code Civil) menasihatkan dan minta perhatian ahli-ahli hukum bahwa Code Civil atau Code NAPOLÉON yang telah ditetapkan adalah tidak lengkap dan juga tidak jelas. Walaupun ada nasihat PORTALIS, baik di Perancis maupun di negara-negara lain banyak pengaruh dari teori kuno yang menerangkan bahwa satu-satunya sumber hukum ialah undang-undang. Dan mereka hanya menganalisa undang-undang, tidak mencipta hukum baru. Ini justru keliru. Tetapi untung lama-kelamaan ada reaksi terhadap pendapat kuno yang datangnya terutama dari ahli-ahli hukum Jerman yang dipelopori oleh:
yang dinamakan “Freirechtsschule”. Freirechtstheorie mengatakan, bahwa di samping undang-undang ada sumber-sumber hukum lain . Bila hakim sedang memutus perkara dan tidak menemui hukumnya, harus mencarinya di luar undang-undang. Teori Hukum Bebas ini dibagi dalam 2 aliran, yaitu:
Pada kuliah yang lalu telah dikemukakan bahwa menurut penganut-penganut dari teori kuno semua hukum terdapat dalam undang-undang; sumber satu-satunya hukum yaitu undang-undang; pekerjaan seorang hakim tidak lain daripada mengucapkan kata-kata yang terdapat dalam undang-undang. Pendapat ini, walaupun sekarang telah dilepaskan, masih dapat dibaca dalam undang-undang. Pertama-tama dalam pasal 22 AB (Algemene Bepalingen van wetgeving) yang menetapkan sebagai berikut: “Seorang hakim yang menolak memberi peradilan dengan alasan dalam undang-undang tidak terdapat ketentuan, undang-undang tidak jelas atau undang-undang tidak lengkap, dapat dituntut karena keengganan mengadili.” Jadi di sini dapat dibaca pendapat kuno. Apabila membaca pasal 22 AB maka bagi pembentuk undang-undang tidak mungkin apabila ada suatu perkara yang harus diadili hakim lalu hakim berkata: “Saya tidak dapat mengadili karena tidak ada undang-undang”. Ini tidak mungkin; hakim harus memberi peradilan.
Juga dalam RO (Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesië), yang sekarang sebagian besar tidak berlaku, yaitu dalam pasal 116 j masih dapat dilihat pendapat kuno itu; yaitu di mana pembentuk undang-undang menyebut bahwa kasasi dapat dimohon demi kepentingan undang-undang. Jadi kasasi tidak demi kepastian hukum, tetapi demi kepastian undang-undang.
Bagikan ini:
Most visitors also read :
BAB I: ISTILAH HUKUM PIDANA
SUMBER-SUMBER HUKUM (25)
SUMBER-SUMBER HUKUM (24)
SUMBER-SUMBER HUKUM (23)