Di atas tadi adalah contoh yang pertama; contoh yang kedua adalah berhubung dengan putusan Mahkamah Tertinggi negeri Belanda tanggal 17 Desember 1909 (terdapat dalam Weekblad van het recht 8947) mengenai pasal 899 ayat 1 Kitab Undang-Undang Perdata yang berbunyi sebagai berikut: “Untuk dapat menikmati sesuatu atas kekuatan suatu surat wasiat, orang harus telah ada tatkala si pewaris meninggal dunia, satu dan lain dengan mengindahkan ketentuan yang ditetapkan dalam pasal-pasal dari kitab undang-undang ini”.
Seperti Saudara tahu, pasal 2 Kitab Undang-Undang Perdata memuat suatu fiksi yang berbunyi bahwa seorang anak yang masih dalam kandungan dianggap telah lahir saban kali bila kepentingan-kepentingannya menuntut. Apakah yang terjadi? Seorang Belanda bernama J. C. L. DRUYVESTEIN telah mengangkat dengan surat wasiat tanggal 18 Juni 1904 suatu perkumpulan sebagai ahli waris satu-satunya. Pada tanggal 2 April 1905 orang Belanda itu (J. C. L. DRUYVESTEIN) meninggal dunia. Dan berhubung dengan meninggalnya pewaris, perkumpulan itu menuntut supaya warisan si pewaris diserahkan padanya. Tetapi tuntutan ini ditolak oleh Mahkamah Tertinggi, karena pada waktu pewaris meninggal dunia pada tanggal 2 April 1905, perkumpulan itu tidak lagi merupakan suatu badan hukum. Perkumpulan itu didirikan pada tanggal 31 Mei 1875 untuk 29 tahun, jadi sampai 31 Mei 1904, sedang pewaris meninggal pada tanggal 2 April 1905. Sedang pasal 899 ayat 1 Kitab Undang-Undang Perdata menerangkan, bahwa untuk dapat menikmati suatu atas kekuatan suatu surat wasiat, orang harus telah ada tatkala si pewaris meninggal dunia, satu dan lain dengan mengindahkan ketentuan ketentuan yang ditetapkan dalam pasal-pasal dari kitab undang-undang ini. Jadi perkumpulan itu tidak ada lagi karena sudah tidak merupakan badan hukum. Maka itu ia tidak dapat menikmati atas kekuatan surat wasiat. Jadi tidak dapat menuntut supaya warisan diserahkan padanya.
Setelah ketetapan itu ia (perkumpulan) mengubah statuut-nya, dan menetapkan bahwa perkumpulan itu tidak didirikan untuk 29 tahun, tetapi untuk 29 tahun 11 bulan. Dan setelah disahkan dengan Firman Raja, ini berarti, ketika pada tanggal 2 April 1905 pewarisnya meninggal dunia, badan hukum (perkumpulan) itu masih merupakan badan hukum, dan menuntut warisannya, dan dengan sendirinya warisan itu diserahkan.
Apakah yang dibaca dari putusan ini? Mahkamah Tertinggi mempersamakan badan hukum dengan orang. Apakah itu sebenarnya suatu badan hukum? Bagaimanakah Mahkamah Tertinggi dapat mempergunakan pasal 899 ayat 1 itu juga untuk badan hukum. Dalam putusan ini dilihat suatu teori yang dianut berhubung dengan suatu badan hukum yaitu Teori Fiksi, yang di negeri Belanda dianut antara lain oleh guru-guru besar seperti:
1. Prof. Mr. PH. A. N. HOUWING
2. Prof. Mr. C. W. OPZOOMER
Suatu badan hukum merupakan suatu “persona ficta”, suatu orang bikinan hukum. Dan dengan mengadakan fiksi Mahkamah Tertinggi dapat mempergunakan pasal 899 ayat 1.
ILMU HUKUM (9)
Di atas tadi adalah contoh yang pertama; contoh yang kedua adalah berhubung dengan putusan Mahkamah Tertinggi negeri Belanda tanggal 17 Desember 1909 (terdapat dalam Weekblad van het recht 8947) mengenai pasal 899 ayat 1 Kitab Undang-Undang Perdata yang berbunyi sebagai berikut: “Untuk dapat menikmati sesuatu atas kekuatan suatu surat wasiat, orang harus telah ada tatkala si pewaris meninggal dunia, satu dan lain dengan mengindahkan ketentuan yang ditetapkan dalam pasal-pasal dari kitab undang-undang ini”.
Seperti Saudara tahu, pasal 2 Kitab Undang-Undang Perdata memuat suatu fiksi yang berbunyi bahwa seorang anak yang masih dalam kandungan dianggap telah lahir saban kali bila kepentingan-kepentingannya menuntut. Apakah yang terjadi? Seorang Belanda bernama J. C. L. DRUYVESTEIN telah mengangkat dengan surat wasiat tanggal 18 Juni 1904 suatu perkumpulan sebagai ahli waris satu-satunya. Pada tanggal 2 April 1905 orang Belanda itu (J. C. L. DRUYVESTEIN) meninggal dunia. Dan berhubung dengan meninggalnya pewaris, perkumpulan itu menuntut supaya warisan si pewaris diserahkan padanya. Tetapi tuntutan ini ditolak oleh Mahkamah Tertinggi, karena pada waktu pewaris meninggal dunia pada tanggal 2 April 1905, perkumpulan itu tidak lagi merupakan suatu badan hukum. Perkumpulan itu didirikan pada tanggal 31 Mei 1875 untuk 29 tahun, jadi sampai 31 Mei 1904, sedang pewaris meninggal pada tanggal 2 April 1905. Sedang pasal 899 ayat 1 Kitab Undang-Undang Perdata menerangkan, bahwa untuk dapat menikmati suatu atas kekuatan suatu surat wasiat, orang harus telah ada tatkala si pewaris meninggal dunia, satu dan lain dengan mengindahkan ketentuan ketentuan yang ditetapkan dalam pasal-pasal dari kitab undang-undang ini. Jadi perkumpulan itu tidak ada lagi karena sudah tidak merupakan badan hukum. Maka itu ia tidak dapat menikmati atas kekuatan surat wasiat. Jadi tidak dapat menuntut supaya warisan diserahkan padanya.
Setelah ketetapan itu ia (perkumpulan) mengubah statuut-nya, dan menetapkan bahwa perkumpulan itu tidak didirikan untuk 29 tahun, tetapi untuk 29 tahun 11 bulan. Dan setelah disahkan dengan Firman Raja, ini berarti, ketika pada tanggal 2 April 1905 pewarisnya meninggal dunia, badan hukum (perkumpulan) itu masih merupakan badan hukum, dan menuntut warisannya, dan dengan sendirinya warisan itu diserahkan.
Apakah yang dibaca dari putusan ini? Mahkamah Tertinggi mempersamakan badan hukum dengan orang. Apakah itu sebenarnya suatu badan hukum? Bagaimanakah Mahkamah Tertinggi dapat mempergunakan pasal 899 ayat 1 itu juga untuk badan hukum. Dalam putusan ini dilihat suatu teori yang dianut berhubung dengan suatu badan hukum yaitu Teori Fiksi, yang di negeri Belanda dianut antara lain oleh guru-guru besar seperti:
1. Prof. Mr. PH. A. N. HOUWING
2. Prof. Mr. C. W. OPZOOMER
Suatu badan hukum merupakan suatu “persona ficta”, suatu orang bikinan hukum. Dan dengan mengadakan fiksi Mahkamah Tertinggi dapat mempergunakan pasal 899 ayat 1.
Bagikan ini:
Most visitors also read :
BAB I: ISTILAH HUKUM PIDANA
SUMBER-SUMBER HUKUM (25)
SUMBER-SUMBER HUKUM (24)
SUMBER-SUMBER HUKUM (23)