Belum lama ini ketika saya berkunjung ke sebuah rumah sakit di Bandung, saya membaca suatu pengumuman/peringatan: “DILARANG MAKAN DAN TIDUR DI SINI”. Apa yang janggal?
Memang dalam seharian kita penggunaan logika kadangkala terabaikan padahal penerapan logika yang salah dapat menimbulkan pengambilan kesimpulan yang tidak sahih/tidak valid. Mari kita perhatikan tiga contoh sederhana lainnya berikut ini.
Contoh 1
Di tempat-tempat tertentu, misalnya pelataran bioskop atau di restoran cepat saji tertentu, kita melihat ada peringatan/pengumuman seperti ini: “DILARANG MEMBAWA MAKANAN DAN MINUMAN DARI LUAR”.
Contoh 2
Perhatikan dialog antara Andi dan Susan berikut ini.
Andi : Kalau nanti sore aku pulang kerja lebih awal, aku akan mampir ke rumahmu.
Susan : Jadi, kalau sore ini kamu pulang di jam normal, kamu tidak mampir ke rumahku donk …
Contoh 3
Perhatikan juga dialog antara Budi dan Chandra berikut ini.
Budi : Setiap malam tahun baru jalan ini macet.
Chandra : Ah, tidak begitu. Buktinya hari ini, meskipun bukan malam tahun baru jalan ini macet.
Apa yang janggal mengenai larangan pada Contoh 1 di atas? Apabila larangannya seperti itu, jika seseorang membawa makanan saja (tanpa minuman) atau membawa minuman saja (tanpa makanan) maka ia tidak melanggar aturan itu. Yang dilarang adalah apabila orang itu membawa keduanya, yaitu makanan dan minuman. Perhatikan kata hubung “dan” pada peringatan itu. Apabila si pembuat aturan bermaksud bahwa makanan tidak boleh dibawa dan minuman pun tidak boleh dibawa, menurut hukum d’Morgan dalam teori mengenai logika, seharusnya larangan itu berbunyi: “DILARANG MEMBAWA MAKANAN ATAU MINUMAN DARI LUAR”. Jadi, dengan orang itu membawa salah satu saja di antara keduanya, orang itu dinyatakan melanggar; apalagi kalau kedua-duanya dibawa! Sebagai alternatif, bisa juga larangan itu seperti ini, apabila ingin mempertegas: “DILARANG MEMBAWA MAKANAN DAN/ATAU MINUMAN DARI LUAR”. Dengan alternatif ini, baik orang tersebut membawa salah satu maupun membawa kedua-duanya, orang tersebut melanggar aturan. Kelompok kata “dan/atau” memang kata-kata yang sering dijumpai dalam bahasa tulisan, khususnya dalam teks perundang-undangan atau perjanjian tertulis.
Bagaimana dengan Contoh 2? Dalam dialog ini, Susan telah salah dalam mengambil kesimpulan. Dalam teori mengenai logika, pernyataan Andi tadi merupakan suatu pernyataan majemuk berupa implikasi. Contoh implikasi lainnya, misalnya: (a) Jika Bandung merupakan ibukota Propinsi Jawa Barat maka Bandung terletak di Jawa Barat, (b) Jika Budi seorang hakim maka Budi seorang sarjana hukum. Secara umum, apabila p, q masing-masing merupakan pernyataan, bentuk “jika p maka q” merupakan suatu implikasi. Dalam teori mengenai implikasi, jika p benar maka kita menyimpulkan bahwa q benar. Namun, secara umum, apabila p salah, tak ada yang dapat disimpulkan mengenai benar atau salahnya q. Sebagai contoh, apabila Budi bukan seorang hakim, apakah Budi sarjana hukum atau bukan? Toh di antara para sarjana hukum, ada juga yang menjadi jaksa, ada juga yang menjadi dosen, ada juga yang pengangguran! Kembali ke Contoh 2, Susan pun sudah salah dalam mengambil kesimpulan. Walaupun Andi tidak pulang kerja lebih awal, boleh-boleh saja dia mampir ke rumah Susan!
Demikian halnya dengan Contoh 3. Ini pun serupa dengan Contoh 2. Dalam hal ini Chandra sesat pikir. Yang dikatakan Budi bisa dinyatakan dengan cara lain sbb.: “Jika (suatu saat tertentu) adalah malam tahun baru maka jalan ini macet.” Dengan alur pikir yang serupa dengan pembahasan Contoh 2, jika suatu saat tertentu bukan malam tahun baru, kita tak dapat menyimpulkan jalan ini macet atau tidak macet. Jalan tersebut bisa saja macet walaupun saat ini bukan malam tahun baru!
SESAT BERLOGIKA
Belum lama ini ketika saya berkunjung ke sebuah rumah sakit di Bandung, saya membaca suatu pengumuman/peringatan: “DILARANG MAKAN DAN TIDUR DI SINI”. Apa yang janggal?
Memang dalam seharian kita penggunaan logika kadangkala terabaikan padahal penerapan logika yang salah dapat menimbulkan pengambilan kesimpulan yang tidak sahih/tidak valid. Mari kita perhatikan tiga contoh sederhana lainnya berikut ini.
Contoh 1
Di tempat-tempat tertentu, misalnya pelataran bioskop atau di restoran cepat saji tertentu, kita melihat ada peringatan/pengumuman seperti ini: “DILARANG MEMBAWA MAKANAN DAN MINUMAN DARI LUAR”.
Contoh 2
Perhatikan dialog antara Andi dan Susan berikut ini.
Andi : Kalau nanti sore aku pulang kerja lebih awal, aku akan mampir ke rumahmu.
Susan : Jadi, kalau sore ini kamu pulang di jam normal, kamu tidak mampir ke rumahku donk …
Contoh 3
Perhatikan juga dialog antara Budi dan Chandra berikut ini.
Budi : Setiap malam tahun baru jalan ini macet.
Chandra : Ah, tidak begitu. Buktinya hari ini, meskipun bukan malam tahun baru jalan ini macet.
Apa yang janggal mengenai larangan pada Contoh 1 di atas? Apabila larangannya seperti itu, jika seseorang membawa makanan saja (tanpa minuman) atau membawa minuman saja (tanpa makanan) maka ia tidak melanggar aturan itu. Yang dilarang adalah apabila orang itu membawa keduanya, yaitu makanan dan minuman. Perhatikan kata hubung “dan” pada peringatan itu. Apabila si pembuat aturan bermaksud bahwa makanan tidak boleh dibawa dan minuman pun tidak boleh dibawa, menurut hukum d’Morgan dalam teori mengenai logika, seharusnya larangan itu berbunyi: “DILARANG MEMBAWA MAKANAN ATAU MINUMAN DARI LUAR”. Jadi, dengan orang itu membawa salah satu saja di antara keduanya, orang itu dinyatakan melanggar; apalagi kalau kedua-duanya dibawa! Sebagai alternatif, bisa juga larangan itu seperti ini, apabila ingin mempertegas: “DILARANG MEMBAWA MAKANAN DAN/ATAU MINUMAN DARI LUAR”. Dengan alternatif ini, baik orang tersebut membawa salah satu maupun membawa kedua-duanya, orang tersebut melanggar aturan. Kelompok kata “dan/atau” memang kata-kata yang sering dijumpai dalam bahasa tulisan, khususnya dalam teks perundang-undangan atau perjanjian tertulis.
Bagaimana dengan Contoh 2? Dalam dialog ini, Susan telah salah dalam mengambil kesimpulan. Dalam teori mengenai logika, pernyataan Andi tadi merupakan suatu pernyataan majemuk berupa implikasi. Contoh implikasi lainnya, misalnya: (a) Jika Bandung merupakan ibukota Propinsi Jawa Barat maka Bandung terletak di Jawa Barat, (b) Jika Budi seorang hakim maka Budi seorang sarjana hukum. Secara umum, apabila p, q masing-masing merupakan pernyataan, bentuk “jika p maka q” merupakan suatu implikasi. Dalam teori mengenai implikasi, jika p benar maka kita menyimpulkan bahwa q benar. Namun, secara umum, apabila p salah, tak ada yang dapat disimpulkan mengenai benar atau salahnya q. Sebagai contoh, apabila Budi bukan seorang hakim, apakah Budi sarjana hukum atau bukan? Toh di antara para sarjana hukum, ada juga yang menjadi jaksa, ada juga yang menjadi dosen, ada juga yang pengangguran! Kembali ke Contoh 2, Susan pun sudah salah dalam mengambil kesimpulan. Walaupun Andi tidak pulang kerja lebih awal, boleh-boleh saja dia mampir ke rumah Susan!
Demikian halnya dengan Contoh 3. Ini pun serupa dengan Contoh 2. Dalam hal ini Chandra sesat pikir. Yang dikatakan Budi bisa dinyatakan dengan cara lain sbb.: “Jika (suatu saat tertentu) adalah malam tahun baru maka jalan ini macet.” Dengan alur pikir yang serupa dengan pembahasan Contoh 2, jika suatu saat tertentu bukan malam tahun baru, kita tak dapat menyimpulkan jalan ini macet atau tidak macet. Jalan tersebut bisa saja macet walaupun saat ini bukan malam tahun baru!
Bagikan ini:
Most visitors also read :
BERKENALAN DENGAN NILAI DAN VEKTOR EIGEN
DEKOMPOSISI NILAI SINGULAR (SINGULAR VALUE DECOMPOSITION)
MATRIKS AKAR KUADRAT
SOAL DAN PEMBAHASAN ANALISIS KOMPONEN UTAMA