MIRISNYA NASIB BURUH

Juni 10th, 2016

IMG-20160501-WA0019

Tanggal 1 Mei ditetapkan sebagai Hari Buruh Internasional. Setiap tanggal itulah kehidupan kita “diganggu” oleh adanya banyak unjuk rasa/demonstrasi yang dilakukan kaum buruh. Barangkali kita merasa kesal karena jalan menjadi macet, belum lagi ada potensi-potensi bahaya berupa pengrusakan oleh oknum-oknum demonstran. Tetapi, pernahkah kita merasakan apa yang mereka rasakan?

 

Melalui tulisan ini, saya bermaksud membantu menyosialisasikan pengertian Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang sebenarnya harus diketahui oleh para pekerja/karyawan perusahaan maupun para pengusaha. Dasar hukum bagi PKB ini dapat ditemukan di Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

 

Kita awali dengan dua dialog yang biasa terjadi di antara pencari kerja atau pekerja/pegawai dengan calon majikan atau majikan.

 

Dialog I

Pencari kerja                : Pak, tolonglah saya. Saya perlu kerja. Saya perlu menghidupi   keluarga saya…

Calon majikan             : Oh boleh. Kamu saya gaji Rp 500.000 sebulan. Kerja 16 jam/hari. Tidak ada hari libur. Kamu kerja 30 atau 31 hari per bulan. Biaya makan, transpor, pengobatan, dan biaya-biaya lain yang timbul menjadi tanggungan Saudara sendiri. Bagaimana?

Pencari kerja                : Wah Pak … Itu kan di bawah UMR. Mana cukup Pak buat kehidupan kami sebulan?

Calon majikan             : Ya terserah. Saya kan ga maksa kamu kerja di sini. Kalo tidak cocok, ya silakan cari perusahaan lain. Masih banyak koq yang mau kerja di sini … !

 

Dialog II

Pekerja                        : Pak, saya sudah bekerja di sini 7 tahun. Masa kenaikan gaji cuma Rp 18.000 tiap 2 tahun.

Pengusaha                   : Ya kamu kan dulu udah sepakat waktu mau kerja di sini. Kan dulu kamu tanda tangan. Kenapa sekarang protes?

Pekerja                        : Ya kan bensin juga naiknya lebih dari segitu dalam 2 tahun. Harga barang-barang melonjak. Biaya kesehatan tinggi.

Pengusaha                   : Lah?! Memangnya kalo tahun depan perusahaan merugi, kamu mau ikut nanggung juga … ngga dibayar gajinya? Kami mampunya cuma bayar segitu. Kalo kamu merasa kurang, ya mengundurkan diri saja. Cari perusahaan yang lebih baik …

 

Dari kedua dialog itu tampak betapa lemah posisi pekerja atau pencari kerja ketika berhadapan dengan majikan atau calon majikan! Tenaga kerja tersedia begitu berkelimpahan sementara pengusaha/majikan terlalu sedikit dibandingkan dengan tenaga kerja yang tersedia! Di sinilah potensi tertindasnya tenaga kerja! Dan memang itulah yang akan terjadi apabila calon majikan atau majikan kita tidak menggunakan hati nuraninya! Itulah sebabnya para tenaga kerja dilindungi Undang-Undang Ketenagakerjaan (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003), itu sebabnya pula mereka dilindungi Undang-Undang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000)! Supaya hak-hak para pekerja tetap terjaga!

 

Pada saat calon pekerja menandatangani perjanjian kerja, ada 2 hal yang mungkin terjadi. Pertama, calon pekerja itu memang betul-betul sepakat terhadap perjanjian kerja itu (beserta semua aturan yang berlaku di perusahaan itu), tapi kedua, bisa juga calon pekerja „terpaksa sepakat“ dengan perjanjian kerja itu, dalam arti dia sebenarnya tidak sepakat/berat terhadap perjanjian kerja itu, tapi terpaksa menandatangani karena „kepepet“ akibat desakan ekonomi yang mengharuskan ia bekerja. Ini realita!

 

Setelah mereka menjadi pegawai di suatu perusahaan, akhirnya mereka „terpaksa“ mengikuti semua peraturan perusahaan, tak ada pilihan lain kalau mereka mau tetap bekerja di perusahaan itu. Bahkan kadang-kadang mereka „terpaksa“ tunduk pada peraturan-peraturan baru walaupun dengan aturan baru tersebut kita sebenarnya merasa sedikit „terganggu“ haknya! Ini wajar saja karena bukan hal yang aneh apabila suatu „Peraturan Perusahaan“ lebih cenderung „menguntungkan“ pengusaha dibandingkan pekerja.

 

Di sinilah pentingnya PKB (Perjanjian Kerja Bersama)! Dengan PKB ini, Peraturan Perusahaan (PP) menjadi hapus dan idealnya perjanjian ini disepakati dengan sungguh-sungguh, bukan “terpaksa sepakat”. Baik pengusaha maupun pekerja sama-sama sungguh sepakat akan hak dan kewajiban masing-masing pihak sebagaimana yang dinyatakan dalam PKB itu. Dengan PKB ini, pengusaha dan pekerja setidaknya lebih seimbang, tidak seperti hubungan antara tuan dengan budaknya!

 

Misalnya saat ini berlaku Peraturan Perusahaan. Apakah kita boleh menggantinya dengan Perjanjian Kerja Bersama?

Kita lihat Pasal 111 (4) UU Ketenagakerjaan kita: „Selama masa berlakunya peraturan perusahaan, apabila serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan menghendaki perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama, maka pengusaha wajib melayani.“

 

Siapa yang membuat PKB?

Menurut Pasal 116 (1) UU Ketenagakerjaan kita: „Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.“

 

Akhir kata, perlu ditekankan di sini bahwa PKB merupakan “pekerjaan rumah” (PR) setiap serikat pekerja. Dengan PKB yang baik, kepentingan pekerja dan pengusaha akan lebih terlindungi. Semoga Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Indonesia bisa membawa para anggotanya ke kehidupan yang lebih baik …

 

 



Most visitors also read :



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.