Menurut keadilan distributif, tiap orang akan menerima seimbang dengan jasanya. Menurut keadilan komutatif, tiap orang akan menerima sama banyaknya tanpa mempedulikan jasa-jasanya masing-masing.
Pendapat ketiga mengenai tujuan hukum yaitu yang dikemukakan oleh Teori Etika. Menurut Teori Etika, tujuan hukum ialah hanya mencapai keadilan. Menurut penganut-penganut teori ini, tiap soal harus diperiksa dan diputus sendiri-sendiri; dan untuk tiap soal harus diadakan suatu peraturan tersendiri.
Seorang ahli Filsafat Hukum terkenal dari Jerman, yaitu GUSTAV RADBRUCH, dalam bukunya “Einfuhrung in die Rechtswissenschaft” menerangkan, bahwa tujuan pembentuk undang-undang ialah keadilan. Apa yang dikemukakan GUSTAV RADBRUCH memang benar; memang tujuan pembentuk undang-undang yaitu keadilan, tetapi tidak keadilan semata-mata. Di samping itu pembentuk undang-undang harus memperhatikan juga suatu syarat lain, yaitu syarat kepastian hukum. Oleh karena itu Teori Etika tadi tidak mungkin benar; tidak mungkin untuk tiap perkara diadakan suatu peraturan tersendiri. Demi kepastian hukum, suatu negara memerlukan ketentuan-ketentuan umum. Memang ketentuan-ketentuan umum mungkin berarti ketidakadilan. Akan tetapi risiko itu demi kepastian hukum harus diterima oleh pembentuk undang-undang; ini tidak bisa tidak. Dan lagi pula ketidakadilan itu yang diterbitkan oleh ketentuan-ketentuan umum dapat diperkecil, atau dapat dihilangkan sama sekali oleh pembentuk undang-undang, yaitu dengan mengadakan ketentuan-ketentuan dalam mana pembentuk undang-undang mempergunakan istilah-istilah yang harus ditafsirkan oleh hakim. Yaitu dengan menetapkan ketentuan hukum dalam mana pada hakim diberi hak yang sangat besar untuk memberi arti pada suatu istilah yang dapat disesuaikan dengan keadaan.
Umpamanya pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-undang Perdata: “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Apakah itu “itikad baik” (goede trouw)? Pembentuk undang-undang tidak memberi definisi apakah itu itikad baik. Jadi hakim harus menetapkan artinya. Dan ini harus ditetapkan pada waktu memeriksa perkara yang diajukan padanya. Dan mungkin arti itu dalam suatu perkara berlainan dengan dalam perkara yang lain. Di sini akan disebut 2 perkara yang biasanya dipergunakan sebagai contoh dalam menerangkan hal ini.
Pertama-tama putusan Mahkamah Tertinggi negeri Belanda tanggal 8 Maret 1946 (terdapat dalam Nederlandse Jurisprudentie 1946 nomor 186). Duduk perkaranya adalah sebagai berikut: A telah membeli dari B 90.000 bata dengan perjanjian bahwa tiap 3 hari harus dilever 10.000 bata, sedang harganya harus dibayar oleh A tiap kali setelah batu dilever. Apa yang kejadian? B telah melever 10.000 bata, akan tetapi A tidak sudi membayar harga 10.000 bata itu. Walaupun demikian ia menuntut pada B supaya melever 10.000 bata lagi. Dengan sendirinya B tidak mau karena harga 10.000 bata belum dibayar. Lalu A menuntut B di depan pengadilan supaya B melever bata lagi walaupun A belum membayar harga peleveran pertama. Mahkamah Tertinggi memutuskan, bahwa hal demikian adalah bertentangan dengan itikad baik; B diwajibkan melever 10.000 bata sedang harganya belum dibayar, ini bertentangan dengan itikad baik. Jadi permohonan A ditolak. Di sini hakim memberi arti (isi) pada istilah itikad baik.
Contoh yang kedua yaitu yang terkenal di kalangan ahli-ahli hukum dengan “Het bontmantel arrest”. Duduk perkaranya sebagai berikut: Seorang laki-laki Inggris (yang telah mempunyai istri) bernama M. C. PLATT, mempunyai “hubungan rahasia” dengan wanita lain. Dan rupanya ia demikian cintanya sehingga ia memesan untuk wanita itu sebuah bontmantel di negeri Belanda yaitu pada firma C. H. KUHNE&ZONEN, yang berharga F. 40.000. Sebelum mantel itu dibayar M. C. PLATT meninggal dunia. Apa yang dilakukan oleh firma Belanda itu? Ia menggugat janda PLATT yang tidak tahu apa-apa bersama-sama dengan “kekasih”-nya PLATT di depan hakim Inggris untuk membayar harga F. 40.000. Janda PLATT dengan sendirinya menolak; dan “kekasih” PLATT juga coba-coba menolak. Bagaimana kemudian? Apakah hakim Inggris menghukum janda dan “kekasih” PLATT untuk membayar F. 40.000? Tidak! Permohonan firma Belanda itu ditolak, karena kata hakim Inggris, antara firma Belanda dengan M. C. PLATT telah terdapat suatu perjanjian yang berdasarkan atas suatu alasan yang tidak halal. Apakah alasan itu? Yaitu “hubungan gelap” antara M. C. PLATT dan wanita itu. Dan kata hakim Inggris, bahwa dengan demikian firma Belanda tersebut telah memperoleh hak secara tidak patut, karena “such right is inconsistent with the policy of English Law, or with the moral rules upheld by English Law”. Dengan sendirinya firma itu mengajukan banding, tetapi juga ditolak. Lalu mohon kasasi, tetapi juga Mahkamah Tertinggi London menolak. Tetapi firma Belanda itu tidak tinggal diam. Firma itu lalu menggugat kedua wanita itu di depan hakim Belanda; tetapi di sini juga ditolak (dinyatakan tidak dapat diterima) karena firma C. H. KUHNE&ZONEN dengan kehendak sendiri telah menggugat kedua wanita tadi di depan hakim Inggris; dan bertentangan dengan itikad baik dan kaidah kepatutan bila firma itu tidak terikat pada putusan hakim Inggris.
Jadi dalam hal ini hakim Belanda memberi suatu pengertian pada istilah itikad baik. Dengan ketentuan-ketentuan semacam ini pembentuk undang-undang dapat menghilangkan (atau setidak-tidaknya mengecilkan) ketidakadilan yang diterbitkan oleh ketentuan-ketentuan umum yang harus ditetapkan demi kepastian hukum.
“DE HERINNERING DES MENSEN AAN GELEDEM ONRECHT IS LANG; GEDAAN ONRECHT WORDT SPOEDIG VERGETEN” (SANDERS)
TUJUAN HUKUM (2)
Bagi APELDOORN keadilan tidak berarti persamaan. Keadilan dapat dibagi dalam 2 macam. Pembagian yang diadakan oleh ARISTOTELES yaitu:
Menurut keadilan distributif, tiap orang akan menerima seimbang dengan jasanya. Menurut keadilan komutatif, tiap orang akan menerima sama banyaknya tanpa mempedulikan jasa-jasanya masing-masing.
Pendapat ketiga mengenai tujuan hukum yaitu yang dikemukakan oleh Teori Etika. Menurut Teori Etika, tujuan hukum ialah hanya mencapai keadilan. Menurut penganut-penganut teori ini, tiap soal harus diperiksa dan diputus sendiri-sendiri; dan untuk tiap soal harus diadakan suatu peraturan tersendiri.
Seorang ahli Filsafat Hukum terkenal dari Jerman, yaitu GUSTAV RADBRUCH, dalam bukunya “Einfuhrung in die Rechtswissenschaft” menerangkan, bahwa tujuan pembentuk undang-undang ialah keadilan. Apa yang dikemukakan GUSTAV RADBRUCH memang benar; memang tujuan pembentuk undang-undang yaitu keadilan, tetapi tidak keadilan semata-mata. Di samping itu pembentuk undang-undang harus memperhatikan juga suatu syarat lain, yaitu syarat kepastian hukum. Oleh karena itu Teori Etika tadi tidak mungkin benar; tidak mungkin untuk tiap perkara diadakan suatu peraturan tersendiri. Demi kepastian hukum, suatu negara memerlukan ketentuan-ketentuan umum. Memang ketentuan-ketentuan umum mungkin berarti ketidakadilan. Akan tetapi risiko itu demi kepastian hukum harus diterima oleh pembentuk undang-undang; ini tidak bisa tidak. Dan lagi pula ketidakadilan itu yang diterbitkan oleh ketentuan-ketentuan umum dapat diperkecil, atau dapat dihilangkan sama sekali oleh pembentuk undang-undang, yaitu dengan mengadakan ketentuan-ketentuan dalam mana pembentuk undang-undang mempergunakan istilah-istilah yang harus ditafsirkan oleh hakim. Yaitu dengan menetapkan ketentuan hukum dalam mana pada hakim diberi hak yang sangat besar untuk memberi arti pada suatu istilah yang dapat disesuaikan dengan keadaan.
Umpamanya pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-undang Perdata: “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Apakah itu “itikad baik” (goede trouw)? Pembentuk undang-undang tidak memberi definisi apakah itu itikad baik. Jadi hakim harus menetapkan artinya. Dan ini harus ditetapkan pada waktu memeriksa perkara yang diajukan padanya. Dan mungkin arti itu dalam suatu perkara berlainan dengan dalam perkara yang lain. Di sini akan disebut 2 perkara yang biasanya dipergunakan sebagai contoh dalam menerangkan hal ini.
Pertama-tama putusan Mahkamah Tertinggi negeri Belanda tanggal 8 Maret 1946 (terdapat dalam Nederlandse Jurisprudentie 1946 nomor 186). Duduk perkaranya adalah sebagai berikut: A telah membeli dari B 90.000 bata dengan perjanjian bahwa tiap 3 hari harus dilever 10.000 bata, sedang harganya harus dibayar oleh A tiap kali setelah batu dilever. Apa yang kejadian? B telah melever 10.000 bata, akan tetapi A tidak sudi membayar harga 10.000 bata itu. Walaupun demikian ia menuntut pada B supaya melever 10.000 bata lagi. Dengan sendirinya B tidak mau karena harga 10.000 bata belum dibayar. Lalu A menuntut B di depan pengadilan supaya B melever bata lagi walaupun A belum membayar harga peleveran pertama. Mahkamah Tertinggi memutuskan, bahwa hal demikian adalah bertentangan dengan itikad baik; B diwajibkan melever 10.000 bata sedang harganya belum dibayar, ini bertentangan dengan itikad baik. Jadi permohonan A ditolak. Di sini hakim memberi arti (isi) pada istilah itikad baik.
Contoh yang kedua yaitu yang terkenal di kalangan ahli-ahli hukum dengan “Het bontmantel arrest”. Duduk perkaranya sebagai berikut: Seorang laki-laki Inggris (yang telah mempunyai istri) bernama M. C. PLATT, mempunyai “hubungan rahasia” dengan wanita lain. Dan rupanya ia demikian cintanya sehingga ia memesan untuk wanita itu sebuah bontmantel di negeri Belanda yaitu pada firma C. H. KUHNE&ZONEN, yang berharga F. 40.000. Sebelum mantel itu dibayar M. C. PLATT meninggal dunia. Apa yang dilakukan oleh firma Belanda itu? Ia menggugat janda PLATT yang tidak tahu apa-apa bersama-sama dengan “kekasih”-nya PLATT di depan hakim Inggris untuk membayar harga F. 40.000. Janda PLATT dengan sendirinya menolak; dan “kekasih” PLATT juga coba-coba menolak. Bagaimana kemudian? Apakah hakim Inggris menghukum janda dan “kekasih” PLATT untuk membayar F. 40.000? Tidak! Permohonan firma Belanda itu ditolak, karena kata hakim Inggris, antara firma Belanda dengan M. C. PLATT telah terdapat suatu perjanjian yang berdasarkan atas suatu alasan yang tidak halal. Apakah alasan itu? Yaitu “hubungan gelap” antara M. C. PLATT dan wanita itu. Dan kata hakim Inggris, bahwa dengan demikian firma Belanda tersebut telah memperoleh hak secara tidak patut, karena “such right is inconsistent with the policy of English Law, or with the moral rules upheld by English Law”. Dengan sendirinya firma itu mengajukan banding, tetapi juga ditolak. Lalu mohon kasasi, tetapi juga Mahkamah Tertinggi London menolak. Tetapi firma Belanda itu tidak tinggal diam. Firma itu lalu menggugat kedua wanita itu di depan hakim Belanda; tetapi di sini juga ditolak (dinyatakan tidak dapat diterima) karena firma C. H. KUHNE&ZONEN dengan kehendak sendiri telah menggugat kedua wanita tadi di depan hakim Inggris; dan bertentangan dengan itikad baik dan kaidah kepatutan bila firma itu tidak terikat pada putusan hakim Inggris.
Jadi dalam hal ini hakim Belanda memberi suatu pengertian pada istilah itikad baik. Dengan ketentuan-ketentuan semacam ini pembentuk undang-undang dapat menghilangkan (atau setidak-tidaknya mengecilkan) ketidakadilan yang diterbitkan oleh ketentuan-ketentuan umum yang harus ditetapkan demi kepastian hukum.
“DE HERINNERING DES MENSEN AAN GELEDEM ONRECHT IS LANG; GEDAAN ONRECHT WORDT SPOEDIG VERGETEN” (SANDERS)
Bagikan ini:
Most visitors also read :
BAB I: ISTILAH HUKUM PIDANA
SUMBER-SUMBER HUKUM (25)
SUMBER-SUMBER HUKUM (24)
SUMBER-SUMBER HUKUM (23)