Apabila sudah diketahui bahwa kebiasaan memang merupakan sumber hukum, harus ditetapkan bagaimana hakim dapat mengetahui hukum kebiasaan. Dalam hal demikian hakim dapat mencari tahu isinya kebiasaan dengan segala cara. Dalam hubungan ini perlu dibicarakan 3 pendapat yang sangat penting, yaitu perselisihan paham antara Prof. Mr. Dr. L. J. VAN APELDOORN, Prof. Mr. PAUL SCHOLTEN dan Prof. Mr. E. M. MEIJERS.
APELDOORN mengemukakan, bahwa kebiasaan sebagai sumber hukum mempunyai mempunyai kedudukan yang sama dengan undang-undang. Dalam kata-kata yang pendek ini terdapat suatu arti yang sangat penting. Apakah yang dimaksudkan APELDOORN dengan kata-kata itu? Yaitu: Apabila dalam suatu proses (perkara perdata) salah satu pihak (penggugat) menuntut sesuatu dan menyatakan bahwa tergugat harus berbuat demikian menurut kebiasaan, maka kata APELDOORN, karena kebiasaan mempunyai kedudukan yang sama dengan undang-undang, maka pihak yang mengemukakan kebiasaan juga tidak harus membuktikannya.
Mungkin ini kurang jelas, dan karena itu baik dijelaskan: Apabila Saudara melihat suatu putusan hakim dalam perkara-perkara perdata, maka akan dilihat bentuk putusan itu sebagai berikut:
ATAS NAMA KEADILAN
Pengadilan Negeri di …………., mengadili …………………………………
mendengar kedua belah pihak,
membaca surat-surat yang bersangkutan,
Tentang duduknya perkara
Tentang hukum
Mengadili
Dalam ad 1 (Tentang duduknya perkara) dimuat tuntutan penggugat, kejadian-kejadian dalam pemeriksaan sidang, jadi pertimbangan-pertimbangan mengenai fakta. Dan tergantung daripada ini hakim dapat membuat pertimbangan-pertimbangan hukum. Dalam surat permohonan seringkali dilihat ada 2 bagian: fakta-fakta yang berhubungan dengan hukum, dan kesimpulan apa yang dituntut.
Umpamanya seorang istri minta bercerai dari suaminya: apakah yang ditulis istri itu? Ia mengemukakan peristiwa-peristiwa: ia mulai dengan mengatakan bahwa ia pada tanggal sekian di Jakarta telah menikah dengan si A; bahwa dari perkawinan itu dilahirkan 2 anak; bahwa selama perkawinan ternyata bahwa tergugat telah berzinah dengan perempuan lain daripada dia (istrinya). Lalu kesimpulan hukum (alasan-alasan hukum): bahwa oleh karena itu menurut pasal sekian Kitab Undang-Undang Perdata, saya (istri) berhak minta bercerai dari tergugat; oleh karena itu supaya hakim membatalkan perkawinan saya dengan tergugat.
Penyebutan pasal dalam Kitab Undang-Undang Perdata itu tidak perlu dibuktikan oleh penggugat karena hal ini adalah undang-undang. Kebiasaan, kata APELDOORN, mempunyai kedudukan yang sama dengan undang-undang. Jadi apabila mengemukakan kebiasaan, seperti juga dikemukakan suatu ketentuan undang-undang, tidak usah dibuktikan.
Jadi umpamanya seorang wanita menuntut perpisahan meja dan tempat tidur, maka salah satu alasan dalam hukum yang disebut yaitu perbuatan-perbuatan melampaui batas (buitensporigheden). Lalu diterangkan oleh penggugat, bahwa suaminya telah berbuat tidak sopan, dan bahwa hal itu menurut kebiasaan merupakan perbuatan melampaui batas. Dan ini menurut APELDOORN tidak usah dibuktikan bahwa itu merupakan perbuatan melampaui batas.
Dalam suatu proses yang harus dibuktikan hanya peristiwa-peristiwa. Jadi dalam perceraian itu yang harus dibuktikan istri yaitu betul suaminya telah melakukan zinah. Apabila dalam suatu perkara dituntut perpisahan meja dan tempat tidur, maka yang harus dibuktikan, kata APELDOORN, bahwa suami tiap hari bila akan pergi ke kantor mengunci lemari dan membawa kunci itu.
SUMBER-SUMBER HUKUM (11)
Apabila sudah diketahui bahwa kebiasaan memang merupakan sumber hukum, harus ditetapkan bagaimana hakim dapat mengetahui hukum kebiasaan. Dalam hal demikian hakim dapat mencari tahu isinya kebiasaan dengan segala cara. Dalam hubungan ini perlu dibicarakan 3 pendapat yang sangat penting, yaitu perselisihan paham antara Prof. Mr. Dr. L. J. VAN APELDOORN, Prof. Mr. PAUL SCHOLTEN dan Prof. Mr. E. M. MEIJERS.
APELDOORN mengemukakan, bahwa kebiasaan sebagai sumber hukum mempunyai mempunyai kedudukan yang sama dengan undang-undang. Dalam kata-kata yang pendek ini terdapat suatu arti yang sangat penting. Apakah yang dimaksudkan APELDOORN dengan kata-kata itu? Yaitu: Apabila dalam suatu proses (perkara perdata) salah satu pihak (penggugat) menuntut sesuatu dan menyatakan bahwa tergugat harus berbuat demikian menurut kebiasaan, maka kata APELDOORN, karena kebiasaan mempunyai kedudukan yang sama dengan undang-undang, maka pihak yang mengemukakan kebiasaan juga tidak harus membuktikannya.
Mungkin ini kurang jelas, dan karena itu baik dijelaskan: Apabila Saudara melihat suatu putusan hakim dalam perkara-perkara perdata, maka akan dilihat bentuk putusan itu sebagai berikut:
ATAS NAMA KEADILAN
Pengadilan Negeri di …………., mengadili …………………………………
mendengar kedua belah pihak,
membaca surat-surat yang bersangkutan,
Dalam ad 1 (Tentang duduknya perkara) dimuat tuntutan penggugat, kejadian-kejadian dalam pemeriksaan sidang, jadi pertimbangan-pertimbangan mengenai fakta. Dan tergantung daripada ini hakim dapat membuat pertimbangan-pertimbangan hukum. Dalam surat permohonan seringkali dilihat ada 2 bagian: fakta-fakta yang berhubungan dengan hukum, dan kesimpulan apa yang dituntut.
Umpamanya seorang istri minta bercerai dari suaminya: apakah yang ditulis istri itu? Ia mengemukakan peristiwa-peristiwa: ia mulai dengan mengatakan bahwa ia pada tanggal sekian di Jakarta telah menikah dengan si A; bahwa dari perkawinan itu dilahirkan 2 anak; bahwa selama perkawinan ternyata bahwa tergugat telah berzinah dengan perempuan lain daripada dia (istrinya). Lalu kesimpulan hukum (alasan-alasan hukum): bahwa oleh karena itu menurut pasal sekian Kitab Undang-Undang Perdata, saya (istri) berhak minta bercerai dari tergugat; oleh karena itu supaya hakim membatalkan perkawinan saya dengan tergugat.
Penyebutan pasal dalam Kitab Undang-Undang Perdata itu tidak perlu dibuktikan oleh penggugat karena hal ini adalah undang-undang. Kebiasaan, kata APELDOORN, mempunyai kedudukan yang sama dengan undang-undang. Jadi apabila mengemukakan kebiasaan, seperti juga dikemukakan suatu ketentuan undang-undang, tidak usah dibuktikan.
Jadi umpamanya seorang wanita menuntut perpisahan meja dan tempat tidur, maka salah satu alasan dalam hukum yang disebut yaitu perbuatan-perbuatan melampaui batas (buitensporigheden). Lalu diterangkan oleh penggugat, bahwa suaminya telah berbuat tidak sopan, dan bahwa hal itu menurut kebiasaan merupakan perbuatan melampaui batas. Dan ini menurut APELDOORN tidak usah dibuktikan bahwa itu merupakan perbuatan melampaui batas.
Dalam suatu proses yang harus dibuktikan hanya peristiwa-peristiwa. Jadi dalam perceraian itu yang harus dibuktikan istri yaitu betul suaminya telah melakukan zinah. Apabila dalam suatu perkara dituntut perpisahan meja dan tempat tidur, maka yang harus dibuktikan, kata APELDOORN, bahwa suami tiap hari bila akan pergi ke kantor mengunci lemari dan membawa kunci itu.
(bersambung)
Bagikan ini:
Most visitors also read :
BAB I: ISTILAH HUKUM PIDANA
SUMBER-SUMBER HUKUM (25)
SUMBER-SUMBER HUKUM (24)
SUMBER-SUMBER HUKUM (23)