Dalam tulisan-tulisan sebelumnya, telah diuraikan rumus-rumus penurunan titik beku, kenaikan titik didih, penurunan tekanan uap jenuh, dan tekanan osmosis. Semua rumus itu berlaku apabila zat terlarut (soluent) bukan berupa elektrolit. [Elektrolit adalah zat yang jika dilarutkan di dalam air terdisosiasi menjadi ion-ion, terionisasi] Setiap 1 mol soluent terionisasi menjadi n mol ion; besarnya n tergantung daripada apakah soluent tersebut merupakan elektrolit biner (contoh; HCl), elektrolit terner (contoh: H2SO4), elektrolit kuarterner (contoh: Na2HPO4), atau elektrolit kuinterner (contoh: Al2(SO4)3). Ionisasi elektrolit-elektrolit tersebut adalah sebagai berikut:
HCl → H+ + Cl– (tiap 1 molekul HCl terionisasi menjadi 2 ion, n = 2)
H2SO4 → 2H+ + SO42- (tiap 1 molekul H2SO4 terionisasi menjadi 3 ion, n = 3)
Na2HPO4 ⇄ 2 Na+ + H+ + PO43- (tiap 1 molekul Na2HPO4 terionisasi menjadi 4 ion, n = 4)
Al2(SO4)3 → 2 Al3+ + 3 SO42- (tiap 1 molekul Al2(SO4)3 terionisasi menjadi 5 ion, n = 5)
Apa bedanya elektrolit sebagai soluent dengan nonelektrolit sebagai soluent dalam hubungannya dengan sifat-sifat koligatif larutan? Seperti telah diuraikan di bagian pertama tulisan mengenai sifat koligatif larutan, sifat koligatif suatu larutan adalah sifat suatu larutan encer yang tidak tergantung dari jenis zat terlarut (solute), namun tergantung hanya dari banyaknya zat terlarut tersebut. Semakin banyaknya soluent mengakibatkan semakin banyaknya zat yang ‘mengganggu’ ikatan antarmolekul di antara molekul-molekul zat pelarut (solvent) dan selanjutnya akan meningkatkan efek-efek penurunan titik beku, kenaikan titik didih, dan tekanan osmosis. Jadi, 1 mol soluent nonelektrolit akan memberikan efek yang berbeda dengan 1 mol aluminium sulfat Al2(SO4)3 sebagai soluent misalnya, apabila masing-masing dilarutkan ke dalam air murni. Jika 1 mol Al2(SO4)3 dilarutkan ke dalam air dan derajat ionisasinya adalah α, maka sebanyak α mol Al2(SO4)3 terionisasi menjadi 2α mol Al3+ dan 3α mol SO42- sehingga di akhir reaksi akan terdapat (1-α) mol Al2(SO4)3, 2α mol Al3+ dan 3α mol SO42- sehingga total banyaknya soluent yang ‘mengganggu’ tersebut menjadi [(1-α) + 2α + 3α] mol = (1 + 4α) mol. [Lihat bagan di bawah.]
Karena 0 ≤ α ≤ 1, (1 + 4α) ≥ 1. Ini menunjukkan bahwa 1 mol soluent elektrolit ‘mengganggu’ solvent lebih banyak daripada 1 mol soluent nonelektrolit.
Pada contoh aluminium sulfat di atas, tiap molekul aluminium sulfat terionisasi menjadi 5 buah ion (n = 5). Bagaimana dengan soluent lain yang tiap molekulnya terionisasi menjadi n buah ion? Misalkan setiap molekul elektrolit X terionisasi menjadi n buah ion Y [X → n Y] dan derajat ionisasi elektrolit tersebut adalah α. Apabila semula terdapat a mol X, dengan mencontoh mekanisme yang ditunjukkan pada bagan di atas, diperoleh bagan sebagai berikut.
Jadi, pada akhir reaksi ada sebanyak a[1 + (n-1)α] mol soluent dalam larutan tersebut.
Bagaimana apabila larutan tersebut berkonsentrasi m molal? Berarti dalam setiap 1000 gram pelarut terdapat m mol soluent dan jika soluent tersebut merupakan elektrolit dengan derajat ionisasi α, maka dalam 1000 gram pelarut tersebut terdapat m[1 + (n-1)α] mol soluent. Dengan kata lain, molalitas larutan tersebut adalah m[1 + (n-1)α] molal. Akibatnya, rumus-rumus penurunan titik beku, kenaikan titik didih, dan tekanan osmosis bagi soluent elektrolit adalah sebagai berikut.
ΔTf = Kf ∙ m ∙ i
ΔTb = Kb ∙ m ∙ i
π = MRT∙ i
dengan i = 1 + (n-1)α; i ini disebut faktor Van’t Hoff. Ketiga rumus tersebut berlaku apabila soluent merupakan elektrolit.
Contoh 5
Tentukanlah penurunan titik beku larutan 1,07 gram amonium klorida dalam 250 gram air, jika diketahui derajat disosiasi garam tersebut 0,85 dan Kf air = 1,86 0C!
SIFAT KOLIGATIF LARUTAN (3)
Dalam tulisan-tulisan sebelumnya, telah diuraikan rumus-rumus penurunan titik beku, kenaikan titik didih, penurunan tekanan uap jenuh, dan tekanan osmosis. Semua rumus itu berlaku apabila zat terlarut (soluent) bukan berupa elektrolit. [Elektrolit adalah zat yang jika dilarutkan di dalam air terdisosiasi menjadi ion-ion, terionisasi] Setiap 1 mol soluent terionisasi menjadi n mol ion; besarnya n tergantung daripada apakah soluent tersebut merupakan elektrolit biner (contoh; HCl), elektrolit terner (contoh: H2SO4), elektrolit kuarterner (contoh: Na2HPO4), atau elektrolit kuinterner (contoh: Al2(SO4)3). Ionisasi elektrolit-elektrolit tersebut adalah sebagai berikut:
HCl → H+ + Cl– (tiap 1 molekul HCl terionisasi menjadi 2 ion, n = 2)
H2SO4 → 2H+ + SO42- (tiap 1 molekul H2SO4 terionisasi menjadi 3 ion, n = 3)
Na2HPO4 ⇄ 2 Na+ + H+ + PO43- (tiap 1 molekul Na2HPO4 terionisasi menjadi 4 ion, n = 4)
Al2(SO4)3 → 2 Al3+ + 3 SO42- (tiap 1 molekul Al2(SO4)3 terionisasi menjadi 5 ion, n = 5)
Apa bedanya elektrolit sebagai soluent dengan nonelektrolit sebagai soluent dalam hubungannya dengan sifat-sifat koligatif larutan? Seperti telah diuraikan di bagian pertama tulisan mengenai sifat koligatif larutan, sifat koligatif suatu larutan adalah sifat suatu larutan encer yang tidak tergantung dari jenis zat terlarut (solute), namun tergantung hanya dari banyaknya zat terlarut tersebut. Semakin banyaknya soluent mengakibatkan semakin banyaknya zat yang ‘mengganggu’ ikatan antarmolekul di antara molekul-molekul zat pelarut (solvent) dan selanjutnya akan meningkatkan efek-efek penurunan titik beku, kenaikan titik didih, dan tekanan osmosis. Jadi, 1 mol soluent nonelektrolit akan memberikan efek yang berbeda dengan 1 mol aluminium sulfat Al2(SO4)3 sebagai soluent misalnya, apabila masing-masing dilarutkan ke dalam air murni. Jika 1 mol Al2(SO4)3 dilarutkan ke dalam air dan derajat ionisasinya adalah α, maka sebanyak α mol Al2(SO4)3 terionisasi menjadi 2α mol Al3+ dan 3α mol SO42- sehingga di akhir reaksi akan terdapat (1-α) mol Al2(SO4)3, 2α mol Al3+ dan 3α mol SO42- sehingga total banyaknya soluent yang ‘mengganggu’ tersebut menjadi [(1-α) + 2α + 3α] mol = (1 + 4α) mol. [Lihat bagan di bawah.]
Karena 0 ≤ α ≤ 1, (1 + 4α) ≥ 1. Ini menunjukkan bahwa 1 mol soluent elektrolit ‘mengganggu’ solvent lebih banyak daripada 1 mol soluent nonelektrolit.
Pada contoh aluminium sulfat di atas, tiap molekul aluminium sulfat terionisasi menjadi 5 buah ion (n = 5). Bagaimana dengan soluent lain yang tiap molekulnya terionisasi menjadi n buah ion? Misalkan setiap molekul elektrolit X terionisasi menjadi n buah ion Y [X → n Y] dan derajat ionisasi elektrolit tersebut adalah α. Apabila semula terdapat a mol X, dengan mencontoh mekanisme yang ditunjukkan pada bagan di atas, diperoleh bagan sebagai berikut.
Jadi, pada akhir reaksi ada sebanyak a[1 + (n-1)α] mol soluent dalam larutan tersebut.
Bagaimana apabila larutan tersebut berkonsentrasi m molal? Berarti dalam setiap 1000 gram pelarut terdapat m mol soluent dan jika soluent tersebut merupakan elektrolit dengan derajat ionisasi α, maka dalam 1000 gram pelarut tersebut terdapat m[1 + (n-1)α] mol soluent. Dengan kata lain, molalitas larutan tersebut adalah m[1 + (n-1)α] molal. Akibatnya, rumus-rumus penurunan titik beku, kenaikan titik didih, dan tekanan osmosis bagi soluent elektrolit adalah sebagai berikut.
ΔTf = Kf ∙ m ∙ i
ΔTb = Kb ∙ m ∙ i
π = MRT∙ i
dengan i = 1 + (n-1)α; i ini disebut faktor Van’t Hoff. Ketiga rumus tersebut berlaku apabila soluent merupakan elektrolit.
Contoh 5
Tentukanlah penurunan titik beku larutan 1,07 gram amonium klorida dalam 250 gram air, jika diketahui derajat disosiasi garam tersebut 0,85 dan Kf air = 1,86 0C!
Jawab:
Mr NH4Cl = (14 + 4.1+35,5) gram/mol = 53,5 gram/mol
Jumlah mol NH4Cl = 1,07/53,5 mol ≈ 0,02 mol
Molalitas NH4Cl = m = 0,02 ∙ 1000/250 molal = 0,08 molal
NH4Cl merupakan elektrolit biner, sehingga n = 2
dan faktor Van’t Hoff-nya menjadi i = 1 + (2-1)∙0,85 = 1,85
Selanjutnya, ΔTf = Kf ∙ m ∙ i = 1,86 ∙ 0,08 ∙ 1,85 0C = 0,275 0C.
Bagikan ini:
Most visitors also read :
BELERANG (SULPHUR) – (3)
BELERANG (SULPHUR) – (2)
BELERANG (SULPHUR) – (1)
TATA NAMA SENYAWA (2)