Prof. Mr. LIE OEN HOCK dapat menyetujui syarat-syarat itu seperti dalam definisi yang telah beliau kemukakan, termasuk syarat-syarat ke-1, ke-2 dan ke-3. Syarat yang ke-4 tidak perlu menurut Prof. Mr. LIE OEN HOCK; tidak perlu bahwa perbuatan-perbuatan yang sama harus berdasar atas keinsyafan bahwa adalah adil orang berbuat demikian terus-menerus. Jadi tidak diperlukan suatu keinsyafan keadilan sebagai dasar perbuatan-perbuatan yang sama itu. Tidak diperlukan suatu keinsyafan bahwa orang harus berbuat sama dalam keadaan-keadaan yang sama; orang dapat berbuat lain daripada yang biasa terjadi tanpa itu berarti suatu perbuatan yang tidak pantas, asal saja itu telah diperjanjikan terlebih dulu. Hanya itu akan menjadi suatu perbuatan yang tidak pantas apabila penyimpangannya itu tidak telah diperjanjikan lebih dahulu.
Dengan melepaskan syarat ke-4, apakah ini berarti bahwa selalu suatu rentetan perbuatan-perbuatan yang sejenis untuk waktu yang lama yang dilakukan oleh sebagian dari suatu masyarakat atau segolongan dari masyarakat itu, yang mewakili masyarakat atau golongan itu, telah menciptakan hukum kebiasaan? Tidak! Tidak selalu! Umpamanya dalam suatu perusahaan besar, Direksinya biasa pada Lebaran atau misalnya pada Hari Pahlawan, memberi pada pegawai-pegawainya dari tingkat tertentu, hadiah satu bulan gaji; dan ia (Direksi) berbuat demikian beberapa tahun berturut-turut. Ini tidak berarti bahwa telah tercipta hukum kebiasaan. Mungkin pegawai itu mengetahui, bahwa tiap kali perbuatan Direksi itu adalah karena kemurahan hatinya. Tetapi sebaliknya, perbuatan-perbuatan yang sama seperti itu mengharuskan Direksi untuk seterusnya berbuat demikian; ini tergantung pada keadaan. Mungkin Direksi itu berbuat demikian karena tiap tahun mendapat untung; dan ini terang tergantung pada kemurahan hati Direksi. Tetapi bila Direksi berbuat demikian tanpa memperdulikan keuntungan, maka terciptalah kebiasaan, dan harus dipenuhi. Kalau tidak dipenuhi, dapat dituntut di depan Hakim.
Yang penting, perbuatan yang sama yang telah dilakukan untuk suatu waktu yang lama harus sedemikian, sehingga dapat diharapkan perbuatan-perbuatan itu juga akan dilanjutkan untuk keadaan-keadaan yang sama. Apabila syarat ini dipenuhi, terciptalah hukum kebiasaan yang tidak perlu berdasar keinsyafan keadilan.
Seorang guru besar terkemuka di negeri Belanda, Prof. Mr. W. ZEVENBERGEN, menolak syarat pertama. Menurut ZEVENBERGEN, tidak perlu ada suatu rentetan perbuatan-perbuatan sejenis. Satu perbuatan mungkin telah menciptakan hukum kebiasaan.
Prof. Mr. LIE OEN HOCK tidak menyetujui. Memang diakui, bahwa satu perbuatan yang semula, mungkin nanti akan menciptakan hukum kebiasaan. Tetapi apakah itu akan terjadi, tergantung pada pertanyaan apakah perbuatan yang demikian akan diikuti dalam keadaan-keadaan yang sama oleh perbuatan-perbuatan yang sama. Kalau tidak diikuti, tidak tercipta hukum kebiasaan. Tidak mungkin satu perbuatan telah mencipta hukum kebiasaan.
Tadi telah dikemukakan satu syarat yang biasanya disebut, yaitu bahwa perbuatan-perbuatan yang sama harus berdasar atas suatu keinsyafan keadilan. Bagi mereka yang berpendapat demikian, maka telah timbul pertanyaan (terdapat suatu soal) apakah yang terdapat lebih dulu, kebiasaan atau keinsyafan keadilan?
Dan antara mereka ada yang menerangkan, bahwa yang terdapat lebih dahulu yaitu kebiasaan. Umpamanya ini dapat dibaca dalam buku seorang ahli hukum terkemuka bangsa Perancis, CAPITANT, yang bernama “Introduction à l’étude du droit civil”. Dan pendapat yang sama dapat dibaca juga dalam buku seorang guru besar terkemuka bangsa Belanda, Prof. Mr. P. W. KAMPHUISEN, yang bernama “Gewoonterecht”.
Tetapi ada pula ahli-ahli hukum yang berpendapat, bahwa baik keinsyafan keadilan, maupun kebiasaan terdapat bersama.
SUMBER-SUMBER HUKUM (4)
Prof. Mr. LIE OEN HOCK dapat menyetujui syarat-syarat itu seperti dalam definisi yang telah beliau kemukakan, termasuk syarat-syarat ke-1, ke-2 dan ke-3. Syarat yang ke-4 tidak perlu menurut Prof. Mr. LIE OEN HOCK; tidak perlu bahwa perbuatan-perbuatan yang sama harus berdasar atas keinsyafan bahwa adalah adil orang berbuat demikian terus-menerus. Jadi tidak diperlukan suatu keinsyafan keadilan sebagai dasar perbuatan-perbuatan yang sama itu. Tidak diperlukan suatu keinsyafan bahwa orang harus berbuat sama dalam keadaan-keadaan yang sama; orang dapat berbuat lain daripada yang biasa terjadi tanpa itu berarti suatu perbuatan yang tidak pantas, asal saja itu telah diperjanjikan terlebih dulu. Hanya itu akan menjadi suatu perbuatan yang tidak pantas apabila penyimpangannya itu tidak telah diperjanjikan lebih dahulu.
Dengan melepaskan syarat ke-4, apakah ini berarti bahwa selalu suatu rentetan perbuatan-perbuatan yang sejenis untuk waktu yang lama yang dilakukan oleh sebagian dari suatu masyarakat atau segolongan dari masyarakat itu, yang mewakili masyarakat atau golongan itu, telah menciptakan hukum kebiasaan? Tidak! Tidak selalu! Umpamanya dalam suatu perusahaan besar, Direksinya biasa pada Lebaran atau misalnya pada Hari Pahlawan, memberi pada pegawai-pegawainya dari tingkat tertentu, hadiah satu bulan gaji; dan ia (Direksi) berbuat demikian beberapa tahun berturut-turut. Ini tidak berarti bahwa telah tercipta hukum kebiasaan. Mungkin pegawai itu mengetahui, bahwa tiap kali perbuatan Direksi itu adalah karena kemurahan hatinya. Tetapi sebaliknya, perbuatan-perbuatan yang sama seperti itu mengharuskan Direksi untuk seterusnya berbuat demikian; ini tergantung pada keadaan. Mungkin Direksi itu berbuat demikian karena tiap tahun mendapat untung; dan ini terang tergantung pada kemurahan hati Direksi. Tetapi bila Direksi berbuat demikian tanpa memperdulikan keuntungan, maka terciptalah kebiasaan, dan harus dipenuhi. Kalau tidak dipenuhi, dapat dituntut di depan Hakim.
Yang penting, perbuatan yang sama yang telah dilakukan untuk suatu waktu yang lama harus sedemikian, sehingga dapat diharapkan perbuatan-perbuatan itu juga akan dilanjutkan untuk keadaan-keadaan yang sama. Apabila syarat ini dipenuhi, terciptalah hukum kebiasaan yang tidak perlu berdasar keinsyafan keadilan.
Seorang guru besar terkemuka di negeri Belanda, Prof. Mr. W. ZEVENBERGEN, menolak syarat pertama. Menurut ZEVENBERGEN, tidak perlu ada suatu rentetan perbuatan-perbuatan sejenis. Satu perbuatan mungkin telah menciptakan hukum kebiasaan.
Prof. Mr. LIE OEN HOCK tidak menyetujui. Memang diakui, bahwa satu perbuatan yang semula, mungkin nanti akan menciptakan hukum kebiasaan. Tetapi apakah itu akan terjadi, tergantung pada pertanyaan apakah perbuatan yang demikian akan diikuti dalam keadaan-keadaan yang sama oleh perbuatan-perbuatan yang sama. Kalau tidak diikuti, tidak tercipta hukum kebiasaan. Tidak mungkin satu perbuatan telah mencipta hukum kebiasaan.
Tadi telah dikemukakan satu syarat yang biasanya disebut, yaitu bahwa perbuatan-perbuatan yang sama harus berdasar atas suatu keinsyafan keadilan. Bagi mereka yang berpendapat demikian, maka telah timbul pertanyaan (terdapat suatu soal) apakah yang terdapat lebih dulu, kebiasaan atau keinsyafan keadilan?
Dan antara mereka ada yang menerangkan, bahwa yang terdapat lebih dahulu yaitu kebiasaan. Umpamanya ini dapat dibaca dalam buku seorang ahli hukum terkemuka bangsa Perancis, CAPITANT, yang bernama “Introduction à l’étude du droit civil”. Dan pendapat yang sama dapat dibaca juga dalam buku seorang guru besar terkemuka bangsa Belanda, Prof. Mr. P. W. KAMPHUISEN, yang bernama “Gewoonterecht”.
Tetapi ada pula ahli-ahli hukum yang berpendapat, bahwa baik keinsyafan keadilan, maupun kebiasaan terdapat bersama.
(bersambung)
Bagikan ini:
Most visitors also read :
BAB I: ISTILAH HUKUM PIDANA
SUMBER-SUMBER HUKUM (25)
SUMBER-SUMBER HUKUM (24)
SUMBER-SUMBER HUKUM (23)