Ada kalanya orang berpendapat, bahwa suatu perjanjian merupakan sumber hukum. Contohnya! Apabila dalam suatu perjanjian jual-beli (kata penganut-penganut ini) penjual dan pembeli mengadakan syarat-syarat mengenai jual-beli, umpamanya harus dilever di tempat pembeli, bahwa harga harus dibayar kontan atau dicicil dua kali atau ada aturan-aturan lain, maka kata mereka, syarat-syarat ini merupakan hukum; jadi perjanjian juga merupakan sumber hukum.
Terang pendapat ini keliru; karena syarat-syarat dalam perjanjian merupakan ketentuan-ketentuan hukum khusus; dan yang menjadi sumber hukum merupakan ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi umum, bagi semua orang. Akan dijelaskan dengan contoh:
Umpamanya apabila seorang wanita ayu membeli sebuah mobil dari sebuah NV (yang direkturnya mementingkan kecantikan), terang wanita ayu itu mendapat kelonggaran istimewa. Tetapi ini tidak berarti, bila Prof. Mr. LIE OEN HOCK membeli mobil pada NV itu beliau juga akan mendapat kelonggaran istimewa yang sama. Terang tidak! Jadi syarat-syarat itu hanya berlaku untuk wanita ayu itu; jadi tidak dapat merupakan sumber hukum dalam arti yang kita maksudkan.
Dalam membicarakan sumber-sumber hukum, maka tidak akan dibicarakan undang-undang lebih dahulu, walaupun undang-undang tetap merupakan sumber utama dari hukum. Ini akan dibicarakan paling akhir, karena berhubungan dengan pembicaraan penafsiran.
HUKUM KEBIASAAN
Sekarang akan dibicarakan sumber hukum yang kedua, yaitu hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan merupakan sumber hukum; dan dengan demikian harus ditetapkan apakah itu hukum kebiasaan, yang dengan singkat dinamakan kebiasaan.
Apakah itu kebiasaan? Apabila sebagian dari suatu bangsa atau segolongan dari bangsa itu yang mewakili bangsa atau golongan itu, untuk suatu waktu yang lama terus-menerus berbuat sama dalam keadaan-keadaan yang sama, hingga dapat diharapkan bahwa itu juga akan terjadi untuk selanjutnya, maka terciptalah hukum kebiasaan.
— oOo —
HUKUM KEBIASAAN
Kita sedang membicarakan salah satu sumber dari hukum, yaitu kebiasaan. Dengan sendirinya perlu dijawab apakah itu kebiasaan, apakah itu hukum kebiasaan. Apabila sebagian dari suatu bangsa atau sebagian dari suatu golongan dari bangsa itu yang mewakili bangsa atau golongan itu untuk suatu waktu yang lama terus-menerus berbuat sama dalam keadaan-keadaan yang sama, sehingga dapat diharapkan bahwa itu juga akan terjadi untuk selanjutnya, maka terciptalah hukum kebiasaan.
Tidak perlu bahwa semua orang berbuat sma. Sudah cukup apabila sebagian atau segolongan dari masyarakat itu berbuat sama, asal saja bagian dari golongan atau masyarakat itu benar-benar mewakili golongan atau masyarakat itu.
Juga tidak dapat dikatakan berapa banyak perbuatan-perbuatan harus dilakukan untuk terciptanya hukum kebiasaan; ini tergantung pada keadaan; mungkin 10 kali, mungkin 100 kali perbuatan-perbuatan yang sama diperlukan untuk terciptanya hukum kebiasaan.
Apabila membaca buku-buku mengenai Ilmu Hukum, maka pada umumnya ahli-ahli hukum (pengarang-pengarang) berpendapat, bahwa untuk menentukan hukum kebiasaan harus dipenuhi 4 syarat:
Harus ada satu rentetan perbuatan yang sejenis. Akan tetapi berapa banyaknya perbuatan yang sejenis diperlukan, tidak dapat ditentukan; ini tergantung pada keadaan.
Harus dapat ditunjukkan suatu kebiasaan yang lama.
Kebiasaan yang lama itu harus merupakan suatu kebiasaan dari sebagian dari suatu bangsa, atau dari sebagian dari suatu golongan dari bangsa yang dapat dikatakan mewakili bangsa atau golongan itu. Jadi tidak perlu bahwa semua orang dari suatu masyarakat berbuat sama dalam keadaan-keadaan yang sama.
Kebiasaan yang lama itu harus merupakan atau berdasar atas suatu keinsyafan keadilan, yaitu keinsyafan bahwa adalah adil berlaku menurut suatu kebiasaan, yang dinamakan “opinie necessitatis”.
Dulu orang menyebut satu syarat lagi, yaitu bahwa kebiasaan-kebiasaan itu tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan baik dan akal budi yang sehat. Tetapi syarat ke-5 ini sekarang tidak dikemukakan atau diharuskan lagi.
SUMBER-SUMBER HUKUM (3)
Ada kalanya orang berpendapat, bahwa suatu perjanjian merupakan sumber hukum. Contohnya! Apabila dalam suatu perjanjian jual-beli (kata penganut-penganut ini) penjual dan pembeli mengadakan syarat-syarat mengenai jual-beli, umpamanya harus dilever di tempat pembeli, bahwa harga harus dibayar kontan atau dicicil dua kali atau ada aturan-aturan lain, maka kata mereka, syarat-syarat ini merupakan hukum; jadi perjanjian juga merupakan sumber hukum.
Terang pendapat ini keliru; karena syarat-syarat dalam perjanjian merupakan ketentuan-ketentuan hukum khusus; dan yang menjadi sumber hukum merupakan ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi umum, bagi semua orang. Akan dijelaskan dengan contoh:
Umpamanya apabila seorang wanita ayu membeli sebuah mobil dari sebuah NV (yang direkturnya mementingkan kecantikan), terang wanita ayu itu mendapat kelonggaran istimewa. Tetapi ini tidak berarti, bila Prof. Mr. LIE OEN HOCK membeli mobil pada NV itu beliau juga akan mendapat kelonggaran istimewa yang sama. Terang tidak! Jadi syarat-syarat itu hanya berlaku untuk wanita ayu itu; jadi tidak dapat merupakan sumber hukum dalam arti yang kita maksudkan.
Dalam membicarakan sumber-sumber hukum, maka tidak akan dibicarakan undang-undang lebih dahulu, walaupun undang-undang tetap merupakan sumber utama dari hukum. Ini akan dibicarakan paling akhir, karena berhubungan dengan pembicaraan penafsiran.
HUKUM KEBIASAAN
Sekarang akan dibicarakan sumber hukum yang kedua, yaitu hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan merupakan sumber hukum; dan dengan demikian harus ditetapkan apakah itu hukum kebiasaan, yang dengan singkat dinamakan kebiasaan.
Apakah itu kebiasaan? Apabila sebagian dari suatu bangsa atau segolongan dari bangsa itu yang mewakili bangsa atau golongan itu, untuk suatu waktu yang lama terus-menerus berbuat sama dalam keadaan-keadaan yang sama, hingga dapat diharapkan bahwa itu juga akan terjadi untuk selanjutnya, maka terciptalah hukum kebiasaan.
— oOo —
HUKUM KEBIASAAN
Kita sedang membicarakan salah satu sumber dari hukum, yaitu kebiasaan. Dengan sendirinya perlu dijawab apakah itu kebiasaan, apakah itu hukum kebiasaan. Apabila sebagian dari suatu bangsa atau sebagian dari suatu golongan dari bangsa itu yang mewakili bangsa atau golongan itu untuk suatu waktu yang lama terus-menerus berbuat sama dalam keadaan-keadaan yang sama, sehingga dapat diharapkan bahwa itu juga akan terjadi untuk selanjutnya, maka terciptalah hukum kebiasaan.
Tidak perlu bahwa semua orang berbuat sma. Sudah cukup apabila sebagian atau segolongan dari masyarakat itu berbuat sama, asal saja bagian dari golongan atau masyarakat itu benar-benar mewakili golongan atau masyarakat itu.
Juga tidak dapat dikatakan berapa banyak perbuatan-perbuatan harus dilakukan untuk terciptanya hukum kebiasaan; ini tergantung pada keadaan; mungkin 10 kali, mungkin 100 kali perbuatan-perbuatan yang sama diperlukan untuk terciptanya hukum kebiasaan.
Apabila membaca buku-buku mengenai Ilmu Hukum, maka pada umumnya ahli-ahli hukum (pengarang-pengarang) berpendapat, bahwa untuk menentukan hukum kebiasaan harus dipenuhi 4 syarat:
Dulu orang menyebut satu syarat lagi, yaitu bahwa kebiasaan-kebiasaan itu tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan baik dan akal budi yang sehat. Tetapi syarat ke-5 ini sekarang tidak dikemukakan atau diharuskan lagi.
(bersambung)
Bagikan ini:
Most visitors also read :
BAB I: ISTILAH HUKUM PIDANA
SUMBER-SUMBER HUKUM (25)
SUMBER-SUMBER HUKUM (24)
SUMBER-SUMBER HUKUM (23)