Apa yang dibicarakan semua di atas adalah mengenai Ilmu Hukum, pendapat Ilmu Hukum mengenai kedudukan hukum kebiasaan. Bagaimana menurut yurisprudensi? Apa yang merupakan suatu soal bagi Ilmu Hukum tidak merupakan soal bagi yurisprudensi. Apabila kita memperhatikan yurisprudensi, maka kita tidak akan menemui satu keputusan hakim juga yang akan menyatakan, bahwa undang-undang tidak berlaku lagi oleh karena kebiasaan. Dan juga tidak ada satu putusan hakim akan ditemui yang menetapkan bahwa kebiasaan berlaku tanpa penunjukan padanya oleh undang-undang.
Bagi yurisprudensi tidak merupakan soal; bagi hakim pasal 15 AB tetap mempunyai kekuatan mengikat. Akan tetapi kita selalu harus memperhatikan, bahwa juga bagi hakim kebiasaan dapat berlaku tetapi hanya apabila undang-undang menunjuk padanya.
Pada kuliah-kuliah yang lalu telah disebut ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Perdata dalam mana dengan tegas disebut oleh pembentuk undang-undang: kebiasaan. Akan disebut 2 contoh:
Pasal 1346 Kitab Undang-Undang Perdata dalam mana ditetapkan sebagai berikut: “Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau di tempat di mana perjanjian itu diadakan.”
Pasal 1571 Kitab Undang-Undang Perdata yang menetapkan sebagai berikut: “Jika sewa diadakan tanpa tulisan, maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan jika pihak yang satu memberitahukan pada pihak yang lain bahwa ia hendak menghentikan sewanya, dengan mengindahkan tenggang-tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat.”
Di sini ditunjuk lagi oleh pembentuk undang-undang dengan tegas pada kebiasaan.
Apabila membaca pasal 15 AB tadi maka timbul suatu pertanyaan lain, yaitu apakah pasal 15 AB (yang menetapkan bahwa kebiasaan hanya berlaku, apabila ditunjuk padanya oleh undang-undang) hanya berlaku untuk hukum yang telah dikodifikasikan (dibukukan) ataukah juga mengenai hukum yang belum dikodifikasikan?
Ada ahli-ahli hukum yang berpendapat, bahwa pasal 15 AB hanya berlaku untuk hukum yang telah dikodifikasikan. Prof. Mr. LIE OEN HOCK tidak setuju dengan pendapat ini; menurut beliau pasal 15 AB berlaku juga untuk hukum yang tidak atau belum dikodifikasikan, umpamanya untuk Hukum Tata Usaha Negara. Hal ini tidak bisa tidak, karena pasal 15 AB, seperti juga semua ketentuan-ketentuan dalam AB mempunyai sifat umum. Dan sifat umum dari ketentuan-ketentuan AB ini dapat dilihat pertama-tama dari namanya “Algemene Bepalingen van wetgeving” (Ketentuan-ketentuan umum mengenai perundang-undangan); keduanya dari sejarah pasal 15 AB yang berasal dari pasal 3 AB Belanda, ternyata bahwa memang maksud pembuat undang-undang supaya pasal 15 AB ini berlaku umum, tidak hanya untuk hukum yang telah dikodifikasikan. Ketentuan-ketentuan AB ini mula-mula terdapat dalam Kitab Undang-Undang Perdata Belanda (merupakan bagian dari Kitab Undang-Undang Perdata Belanda), seperti juga dalam Code Civil. Tetapi dalam tahun 1892 ketentuan-ketentuan mengenai AB ini dikeluarkan oleh pembentuk undang-undang, dan dijadikan suatu undang-undang tersendiri dengan nama “Algemene Bepalingen van wetgeving”, dengan maksud untuk menyatakan bahwa AB berlaku umum. Jadi tidak hanya untuk suatu bidang hukum tertentu. Dan seperti telah diketahui, bagi hukum Indonesia pasal 15 AB hanya mengadakan pengecualian mengenai hukum adat.
SUMBER-SUMBER HUKUM (10)
Apa yang dibicarakan semua di atas adalah mengenai Ilmu Hukum, pendapat Ilmu Hukum mengenai kedudukan hukum kebiasaan. Bagaimana menurut yurisprudensi? Apa yang merupakan suatu soal bagi Ilmu Hukum tidak merupakan soal bagi yurisprudensi. Apabila kita memperhatikan yurisprudensi, maka kita tidak akan menemui satu keputusan hakim juga yang akan menyatakan, bahwa undang-undang tidak berlaku lagi oleh karena kebiasaan. Dan juga tidak ada satu putusan hakim akan ditemui yang menetapkan bahwa kebiasaan berlaku tanpa penunjukan padanya oleh undang-undang.
Bagi yurisprudensi tidak merupakan soal; bagi hakim pasal 15 AB tetap mempunyai kekuatan mengikat. Akan tetapi kita selalu harus memperhatikan, bahwa juga bagi hakim kebiasaan dapat berlaku tetapi hanya apabila undang-undang menunjuk padanya.
Pada kuliah-kuliah yang lalu telah disebut ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Perdata dalam mana dengan tegas disebut oleh pembentuk undang-undang: kebiasaan. Akan disebut 2 contoh:
Di sini ditunjuk lagi oleh pembentuk undang-undang dengan tegas pada kebiasaan.
Apabila membaca pasal 15 AB tadi maka timbul suatu pertanyaan lain, yaitu apakah pasal 15 AB (yang menetapkan bahwa kebiasaan hanya berlaku, apabila ditunjuk padanya oleh undang-undang) hanya berlaku untuk hukum yang telah dikodifikasikan (dibukukan) ataukah juga mengenai hukum yang belum dikodifikasikan?
Ada ahli-ahli hukum yang berpendapat, bahwa pasal 15 AB hanya berlaku untuk hukum yang telah dikodifikasikan. Prof. Mr. LIE OEN HOCK tidak setuju dengan pendapat ini; menurut beliau pasal 15 AB berlaku juga untuk hukum yang tidak atau belum dikodifikasikan, umpamanya untuk Hukum Tata Usaha Negara. Hal ini tidak bisa tidak, karena pasal 15 AB, seperti juga semua ketentuan-ketentuan dalam AB mempunyai sifat umum. Dan sifat umum dari ketentuan-ketentuan AB ini dapat dilihat pertama-tama dari namanya “Algemene Bepalingen van wetgeving” (Ketentuan-ketentuan umum mengenai perundang-undangan); keduanya dari sejarah pasal 15 AB yang berasal dari pasal 3 AB Belanda, ternyata bahwa memang maksud pembuat undang-undang supaya pasal 15 AB ini berlaku umum, tidak hanya untuk hukum yang telah dikodifikasikan. Ketentuan-ketentuan AB ini mula-mula terdapat dalam Kitab Undang-Undang Perdata Belanda (merupakan bagian dari Kitab Undang-Undang Perdata Belanda), seperti juga dalam Code Civil. Tetapi dalam tahun 1892 ketentuan-ketentuan mengenai AB ini dikeluarkan oleh pembentuk undang-undang, dan dijadikan suatu undang-undang tersendiri dengan nama “Algemene Bepalingen van wetgeving”, dengan maksud untuk menyatakan bahwa AB berlaku umum. Jadi tidak hanya untuk suatu bidang hukum tertentu. Dan seperti telah diketahui, bagi hukum Indonesia pasal 15 AB hanya mengadakan pengecualian mengenai hukum adat.
(bersambung)
Bagikan ini:
Most visitors also read :
BAB I: ISTILAH HUKUM PIDANA
SUMBER-SUMBER HUKUM (25)
SUMBER-SUMBER HUKUM (24)
SUMBER-SUMBER HUKUM (23)