Suatu contoh lain yaitu pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di mana ditetapkan oleh pembentuk undang-undang bahwa suatu pencurian dapat dihukum penjara 5 tahun atau denda Rp 60 (sekarang denda ini telah dikalikan 15). Umpamanya ada satu pencurian puhung, apakah ini harus dihukum 5 tahun atau denda Rp 1 atau hukuman penjara satu hari? Hakim harus menetapkan, harus mencari tahu maksud pembentuk undang-undang.
Contoh lain lagi, dalam pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ditetapkan juga “barangsiapa yang mencuri benda” (zaak). Apakah itu benda (zaak)? Apakah tenaga listrik merupakan benda yang dapat dicuri? Pada saat pembentuk undang-undang membentuk undang-undang ini, tidak ada kesukaran mengenai pencurian aliran listrik. Sekarang dengan perkembangan teknik timbul kesulitan mengenai aliran listrik. Hakim harus menetapkan apakah yang dimaksudkan pembentuk undang-undang dengan barang (zaak), dan putusan ini berlainan dengan putusan negara lain. Kita mempunyai yurisprudensi tetap (vaste Jurisprudentie) bahwa aliran listrik dapat dicuri. Tetapi di negara Jerman menurut putusan Reichsgericht aliran listrik tidak dapat dicuri; jadi tidak termasuk perumusan pencurian.
Apabila memperhatikan pendapat kuno, maka mula-mula pendapat itu mengemukakan bahwa hakim tidak lain adalah suatu “subsumptieautomaat”, orang yang mengucapkan kata-kata dalam undang-undang tanpa hak penafsiran. Pendapat ini ada dalam zaman Kaisar JUSTINIANUS; apabila ada yang berani menafsirkan undang-undang dapat dihukum. Dan bila ada yang tidak terang harus bertanya pada pembentuk undang-undang; tidak boleh menafsir sendiri.
Kemudian penganut-penganut teori kuno mengetahui bahwa mungkin ada ketentuan-ketentuan yang tidak jelas dan dapat ditafsirkan. Tetapi bagaimana pun untuk tiap perkara ada hukumnya. Inilah kelonggaran pertama.
Kelonggaran kedua yaitu bahwa mungkin untuk suatu perkara yang harus diputus oleh hakim tidak ada ketentuan yang khusus diadakan oleh pembentuk undang-undang untuk perkara itu; tetapi tentu ada ketentuan yang mirip dengan itu. Dan dalam hal itu hakim dapat mempergunakan ketentuan yang mirip itu secara analogis untuk perkara yang harus diputus.
Apabila saudara mengerti, dengan sendirinya mengerti betapa pentingnya yurisprudensi. Dan seperti saudara tahu, Ketua Mahkamah Agung Mr. WIRJONO PRODJODIKORO dalam bukunya telah mengemukakan, bahwa Mahkamah Agung mempunyai kewajiban untuk mengontrol pengadilan-pengadilan bawahan yaitu dengan putusan-putusannya dalam kasasi. Ini tidak lain berarti, bahwa pengadilan-pengadilan bawahan terikat pada pendapat Mahkamah Agung. Dan ini juga pendapat dari Prof. Mr. LIE OEN HOCK, dan dalam pidato pelantikan beliau telah dikatakan bahwa yurisprudensi merupakan sumber hukum; dan karena itu yurisprudensi harus diikuti. Karena itu hakim turut menciptakan hukum. Juga dalam hal ketentuan undang-undang harus ditafsir hakim turut mencipta hukum.
Umpamanya pasal 1365 Kitab Undang-Undang Perdata mengenai perbuatan melanggar hukum. Apakah itu perbuatan melanggar hukum? Sebelum tanggal 31 Januari 1919 maka Mahkamah Tertinggi Nederland (Hoge Raad) menganut suatu pendapat yang sempit mengenai arti perbuatan melanggar hukum. Pada ketika itu Mahkamah Tertinggi Nederland (dan dengan sendirinya juga Hooggerechtshof di Indonesia berhubung dengan asas konkordansi yang juga berlaku dalam peradilan pada waktu itu) berpendapat bahwa suatu perbuatan melanggar hukum adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan suatu kewajiban menurut hukum dari orang yang melakukan perbuatan itu atau suatu perbuatan yang melanggar hak orang lain. Inilah pendapat yang sempit. Jadi harus ada ketentuan undang-undang yang dilanggar atau suatu hak yang berdasarkan ketentuan undang-undang yang dilanggar, barulah terdapat suatu perbuatan melanggar hukum.
Dalam perumusan ini terang hakim telah turut mencipta hukum, karena pembentuk undang-undang tidak memberi definisi untuk perbuatan melanggar hukum. Tetapi lebih jelas lagi bahwa hakim turut mencipta hukum dapat dilihat pada putusan Mahkamah Tertinggi Nederland pada tanggal 31 Januari 1919, terdapat dalam Nederlandse Jurisprudentie 1919 halaman 161, dalam mana Mahkamah Tertinggi memberi perumusan yang baru yang sangat luas. Mahkamah Tertinggi menerangkan: Suatu perbuatan melanggar hukum adalah suatu tindakan atau kelalaian yang atau melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban menurut hukum dari orang yang melakukan tindakan itu atau (dan inilah yang memuat pendapat luas) bertentangan dengan kesusilaan baik atau suatu kecermatan yang diharuskan dalam pergaulan masyarakat terhadap dirinya atau barangnya orang lain.
SOAL MENEMUI HUKUM (4)
Suatu contoh lain yaitu pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di mana ditetapkan oleh pembentuk undang-undang bahwa suatu pencurian dapat dihukum penjara 5 tahun atau denda Rp 60 (sekarang denda ini telah dikalikan 15). Umpamanya ada satu pencurian puhung, apakah ini harus dihukum 5 tahun atau denda Rp 1 atau hukuman penjara satu hari? Hakim harus menetapkan, harus mencari tahu maksud pembentuk undang-undang.
Contoh lain lagi, dalam pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ditetapkan juga “barangsiapa yang mencuri benda” (zaak). Apakah itu benda (zaak)? Apakah tenaga listrik merupakan benda yang dapat dicuri? Pada saat pembentuk undang-undang membentuk undang-undang ini, tidak ada kesukaran mengenai pencurian aliran listrik. Sekarang dengan perkembangan teknik timbul kesulitan mengenai aliran listrik. Hakim harus menetapkan apakah yang dimaksudkan pembentuk undang-undang dengan barang (zaak), dan putusan ini berlainan dengan putusan negara lain. Kita mempunyai yurisprudensi tetap (vaste Jurisprudentie) bahwa aliran listrik dapat dicuri. Tetapi di negara Jerman menurut putusan Reichsgericht aliran listrik tidak dapat dicuri; jadi tidak termasuk perumusan pencurian.
Apabila memperhatikan pendapat kuno, maka mula-mula pendapat itu mengemukakan bahwa hakim tidak lain adalah suatu “subsumptieautomaat”, orang yang mengucapkan kata-kata dalam undang-undang tanpa hak penafsiran. Pendapat ini ada dalam zaman Kaisar JUSTINIANUS; apabila ada yang berani menafsirkan undang-undang dapat dihukum. Dan bila ada yang tidak terang harus bertanya pada pembentuk undang-undang; tidak boleh menafsir sendiri.
Kemudian penganut-penganut teori kuno mengetahui bahwa mungkin ada ketentuan-ketentuan yang tidak jelas dan dapat ditafsirkan. Tetapi bagaimana pun untuk tiap perkara ada hukumnya. Inilah kelonggaran pertama.
Kelonggaran kedua yaitu bahwa mungkin untuk suatu perkara yang harus diputus oleh hakim tidak ada ketentuan yang khusus diadakan oleh pembentuk undang-undang untuk perkara itu; tetapi tentu ada ketentuan yang mirip dengan itu. Dan dalam hal itu hakim dapat mempergunakan ketentuan yang mirip itu secara analogis untuk perkara yang harus diputus.
Apabila saudara mengerti, dengan sendirinya mengerti betapa pentingnya yurisprudensi. Dan seperti saudara tahu, Ketua Mahkamah Agung Mr. WIRJONO PRODJODIKORO dalam bukunya telah mengemukakan, bahwa Mahkamah Agung mempunyai kewajiban untuk mengontrol pengadilan-pengadilan bawahan yaitu dengan putusan-putusannya dalam kasasi. Ini tidak lain berarti, bahwa pengadilan-pengadilan bawahan terikat pada pendapat Mahkamah Agung. Dan ini juga pendapat dari Prof. Mr. LIE OEN HOCK, dan dalam pidato pelantikan beliau telah dikatakan bahwa yurisprudensi merupakan sumber hukum; dan karena itu yurisprudensi harus diikuti. Karena itu hakim turut menciptakan hukum. Juga dalam hal ketentuan undang-undang harus ditafsir hakim turut mencipta hukum.
Umpamanya pasal 1365 Kitab Undang-Undang Perdata mengenai perbuatan melanggar hukum. Apakah itu perbuatan melanggar hukum? Sebelum tanggal 31 Januari 1919 maka Mahkamah Tertinggi Nederland (Hoge Raad) menganut suatu pendapat yang sempit mengenai arti perbuatan melanggar hukum. Pada ketika itu Mahkamah Tertinggi Nederland (dan dengan sendirinya juga Hooggerechtshof di Indonesia berhubung dengan asas konkordansi yang juga berlaku dalam peradilan pada waktu itu) berpendapat bahwa suatu perbuatan melanggar hukum adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan suatu kewajiban menurut hukum dari orang yang melakukan perbuatan itu atau suatu perbuatan yang melanggar hak orang lain. Inilah pendapat yang sempit. Jadi harus ada ketentuan undang-undang yang dilanggar atau suatu hak yang berdasarkan ketentuan undang-undang yang dilanggar, barulah terdapat suatu perbuatan melanggar hukum.
Dalam perumusan ini terang hakim telah turut mencipta hukum, karena pembentuk undang-undang tidak memberi definisi untuk perbuatan melanggar hukum. Tetapi lebih jelas lagi bahwa hakim turut mencipta hukum dapat dilihat pada putusan Mahkamah Tertinggi Nederland pada tanggal 31 Januari 1919, terdapat dalam Nederlandse Jurisprudentie 1919 halaman 161, dalam mana Mahkamah Tertinggi memberi perumusan yang baru yang sangat luas. Mahkamah Tertinggi menerangkan: Suatu perbuatan melanggar hukum adalah suatu tindakan atau kelalaian yang atau melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban menurut hukum dari orang yang melakukan tindakan itu atau (dan inilah yang memuat pendapat luas) bertentangan dengan kesusilaan baik atau suatu kecermatan yang diharuskan dalam pergaulan masyarakat terhadap dirinya atau barangnya orang lain.
Bagikan ini:
Most visitors also read :
BAB I: ISTILAH HUKUM PIDANA
SUMBER-SUMBER HUKUM (25)
SUMBER-SUMBER HUKUM (24)
SUMBER-SUMBER HUKUM (23)