Suatu contoh lain yaitu pasal 298 ayat 1 Kitab Undang-Undang Perdata yang menetapkan sebagai berikut: “Tiap-tiap anak dalam umur berapa pun juga diwajibkan menaruh kehormatan dan keseganan terhadap orang tuanya.” Bagaimana apabila anak itu tidak berbuat demikian? Tidak ada sanksinya; hukum tidak memberi sanksi dalam hal ini. Tidak hanya dalam Kitab Undang-Undang Perdata sanksi itu tidak ada, tetapi juga dalam Undang-Undang Dasar Sementara (yang sekarang sudah tidak berlaku lagi) terdapat contoh itu, umpamanya pasal 97 ayat 1 Undang-Undang Dasar Sementara yang menetapkan sebagai berikut: “Peraturan-peraturan yang termaktub dalam undang-undang darurat, sesudah ditetapkan, disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya pada sidang yang berikut yang merundingkan peraturan ini menurut yang ditentukan tentang merundingkan usul undang-undang Pemerintah.” Jadi dalam pasal ini ada perintah pada Pemerintah. Tetapi dalam praktiknya banyak Undang-Undang Darurat yang tidak diteruskan Pemerintah pada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibicarakan. Walaupun demikian, karena tidak ada sanksinya, Undang-Undang Darurat tetap berlaku.
Jadi kesimpulannya, memang sifat memaksa itu tidak merupakan bagian esensial dari hukum; ini ternyata dari terdapatnya ketentuan-ketentuan undang-undang yang tidak memuat suatu alat paksaan.
Masih ada hukum yang sama sekali tidak bersifat memaksa. Apabila membaca pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Perdata, maka akan terbaca bahwa pembentuk undang-undang memberi kekuasaan pada pihak-pihak yang bersangkutan untuk menetapkan sendiri isi perjanjian. Bila ada perjanjian jual-beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian pinjam-meminjam, perjanjian pemberian kuasa, maka saudara-saudara dapat menetapkan sendiri syarat-syarat perjanjian itu. Walaupun demikian, walaupun partai otonomi yang diberikan pada pihak-pihak yang bersangkutan oleh Hukum Perjanjian, tetapi pembentuk undang-undang telah mengadakan ketentuan-ketentuan khusus untuk perjanjian yang mempunyai nama khusus. Pembentuk undang-undang mengadakan ketentuan-ketentuan spesial untuk perjanjian jual-beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian pemberian kuasa, perjanjian hibah dan sebagainya. Akan tetapi ketentuan-ketentuan untuk perjanjian-perjanjian khusus yang diadakan oleh pembentuk undang-undang merupakan hukum tambahan, yang juga dinamakan hukum sekunder, hukum mengatur, yaitu hukum yang baru berlaku apabila pihak-pihak yang bersangkutan menginginkannya sendiri dengan tidak mengadakan syarat-syarat khusus dalam perjanjian mereka. Jadi apabila saudara sebagai penjual mengadakan perjanjian jual-beli, dan dalam perjanjian itu tidak ditetapkan bahwa di mana barang akan dilever (apakah di Surabaya, Jakarta atau Semarang; dan di mana harga barang harus dibayar, di Surabaya, Jakarta atau Semarang), maka dalam Kitab Undang-Undang Perdata kita Buku Ketiga dapat dibaca ketentuan-ketentuan yang mengatur hal ini. Dalam hal tidak ada syarat-syarat saudara tahu apa yang sekarang akan berlaku. Jadi terang ketentuan-ketentuan hukum mengatur diadakan oleh pembentuk undang-undang demi kepastian hukum. Harap soal ini dimengerti betul-betul.
Memang ada ahli-ahli hukum yang berpendapat bahwa sifat memaksa itu merupakan bagian esensial dari hukum, umpamanya Prof. Mr. J. VAN KAN, Prof. Mr. F. D. HOLLEMAN, Prof. Mr. C. W. VAN DER POT, RUDOLF VON JHERING. Tetapi untuk sebagian besar ahli-ahli hukum dan guru besar berpendapat, bahwa sifat memaksa itu tidak merupakan bagian esensial dari hukum.
Jadi dengan demikian Prof. Mr. LIE OEN HOCK berkesimpulan, bahwa memang pada umumnya hukum mempunyai sifat memaksa, dan seringkali dapat dikenal pada sifat memaksa itu. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa sifat memaksa itu adalah suatu bagian esensial dari hukum.
SIFAT MEMAKSA BUKAN BAGIAN ESENSIAL HUKUM (3)
Suatu contoh lain yaitu pasal 298 ayat 1 Kitab Undang-Undang Perdata yang menetapkan sebagai berikut: “Tiap-tiap anak dalam umur berapa pun juga diwajibkan menaruh kehormatan dan keseganan terhadap orang tuanya.” Bagaimana apabila anak itu tidak berbuat demikian? Tidak ada sanksinya; hukum tidak memberi sanksi dalam hal ini. Tidak hanya dalam Kitab Undang-Undang Perdata sanksi itu tidak ada, tetapi juga dalam Undang-Undang Dasar Sementara (yang sekarang sudah tidak berlaku lagi) terdapat contoh itu, umpamanya pasal 97 ayat 1 Undang-Undang Dasar Sementara yang menetapkan sebagai berikut: “Peraturan-peraturan yang termaktub dalam undang-undang darurat, sesudah ditetapkan, disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya pada sidang yang berikut yang merundingkan peraturan ini menurut yang ditentukan tentang merundingkan usul undang-undang Pemerintah.” Jadi dalam pasal ini ada perintah pada Pemerintah. Tetapi dalam praktiknya banyak Undang-Undang Darurat yang tidak diteruskan Pemerintah pada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibicarakan. Walaupun demikian, karena tidak ada sanksinya, Undang-Undang Darurat tetap berlaku.
Jadi kesimpulannya, memang sifat memaksa itu tidak merupakan bagian esensial dari hukum; ini ternyata dari terdapatnya ketentuan-ketentuan undang-undang yang tidak memuat suatu alat paksaan.
Masih ada hukum yang sama sekali tidak bersifat memaksa. Apabila membaca pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Perdata, maka akan terbaca bahwa pembentuk undang-undang memberi kekuasaan pada pihak-pihak yang bersangkutan untuk menetapkan sendiri isi perjanjian. Bila ada perjanjian jual-beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian pinjam-meminjam, perjanjian pemberian kuasa, maka saudara-saudara dapat menetapkan sendiri syarat-syarat perjanjian itu. Walaupun demikian, walaupun partai otonomi yang diberikan pada pihak-pihak yang bersangkutan oleh Hukum Perjanjian, tetapi pembentuk undang-undang telah mengadakan ketentuan-ketentuan khusus untuk perjanjian yang mempunyai nama khusus. Pembentuk undang-undang mengadakan ketentuan-ketentuan spesial untuk perjanjian jual-beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian pemberian kuasa, perjanjian hibah dan sebagainya. Akan tetapi ketentuan-ketentuan untuk perjanjian-perjanjian khusus yang diadakan oleh pembentuk undang-undang merupakan hukum tambahan, yang juga dinamakan hukum sekunder, hukum mengatur, yaitu hukum yang baru berlaku apabila pihak-pihak yang bersangkutan menginginkannya sendiri dengan tidak mengadakan syarat-syarat khusus dalam perjanjian mereka. Jadi apabila saudara sebagai penjual mengadakan perjanjian jual-beli, dan dalam perjanjian itu tidak ditetapkan bahwa di mana barang akan dilever (apakah di Surabaya, Jakarta atau Semarang; dan di mana harga barang harus dibayar, di Surabaya, Jakarta atau Semarang), maka dalam Kitab Undang-Undang Perdata kita Buku Ketiga dapat dibaca ketentuan-ketentuan yang mengatur hal ini. Dalam hal tidak ada syarat-syarat saudara tahu apa yang sekarang akan berlaku. Jadi terang ketentuan-ketentuan hukum mengatur diadakan oleh pembentuk undang-undang demi kepastian hukum. Harap soal ini dimengerti betul-betul.
Memang ada ahli-ahli hukum yang berpendapat bahwa sifat memaksa itu merupakan bagian esensial dari hukum, umpamanya Prof. Mr. J. VAN KAN, Prof. Mr. F. D. HOLLEMAN, Prof. Mr. C. W. VAN DER POT, RUDOLF VON JHERING. Tetapi untuk sebagian besar ahli-ahli hukum dan guru besar berpendapat, bahwa sifat memaksa itu tidak merupakan bagian esensial dari hukum.
Jadi dengan demikian Prof. Mr. LIE OEN HOCK berkesimpulan, bahwa memang pada umumnya hukum mempunyai sifat memaksa, dan seringkali dapat dikenal pada sifat memaksa itu. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa sifat memaksa itu adalah suatu bagian esensial dari hukum.
Bagikan ini:
Most visitors also read :
BAB I: ISTILAH HUKUM PIDANA
SUMBER-SUMBER HUKUM (25)
SUMBER-SUMBER HUKUM (24)
SUMBER-SUMBER HUKUM (23)