Manusia, kata BENDER, yang dicipta oleh Tuhan mempunyai sifat sosial, yang berarti bahwa Tuhan telah memerintahkan dan menyatakan pada manusia untuk mendirikan suatu masyarakat, dan hidup serta bekerja dalam masyarakat itu bersama-sama dengan orang-orang lain. Dan oleh karena kekuasaan merupakan suatu bagian sungguh-sungguh dari suatu masyarakat, maka bersama-sama dengan masyarakat itu Tuhan juga telah memerintahkan dibentuknya kekuasaan. Jadi, kata BENDER, apabila manusia menjalankan perintah Tuhan dan mendirikan suatu masyarakat maka bersamaan dengan masyarakat itu mereka mencipta suatu kekuasaan. Dan selama belum ditunjuk orang-orang tertentu untuk menjalankan kekuasaan itu, maka kekuasaan itu dijalankan oleh masyarakat itu sendiri. Jadi menurut BENDER kekuasaan itu bersumber pada Tuhan, seperti juga halnya dengan masyarakat itu. Dan Tuhan memasrahkan pada manusia untuk menetapkan sendiri siapa yang akan menjalankan kekuasaan itu sendiri sebagai alat perlengkapan masyarakat tersebut. Dan undang-undang Ketuhanan yang memerintahkan bahwa harus ada masyarakat; dan dengan demikian juga kekuasaan; dan bahwa kekuasaan itu harus diakui, merupakan suatu kaidah Hukum Alam. Inilah bukti kedua yang dikemukakan BENDER.
Bukti ketiga menurut BENDER bahwa ada Hukum Alam yaitu sebagai berikut: Apabila betul tidak ada Hukum Alam, maka saban (tiap) undang-undang yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang adalah adil; dan segala sesuatu yang ditetapkan oleh pembentuk undang-undang merupakan sungguh-sungguh hukum. Akan tetapi tidak demikian halnya, karena ada undang-undang positif yang tidak adil, karena ada undang-undang yang menetapkan sesuatu yang dengan nyata merupakan ketidakadilan. Sebagai contoh disebutkan oleh BENDER antara lain apabila pembentuk undang-undang pada suatu ketika menetapkan bahwa seorang anak yang dilahirkan setelah ayahnya meninggal dunia tidak berhak atas sebagian dari harta peninggalan ayahnya, maka semua orang akan menyatakan bahwa undang-undang itu tidak adil.
Tadi telah dikemukakan, bahwa apabila mempelajari sejarah Filsafat Hukum ternyata, bahwa semua Hukum dari semula hingga awal abad 19 tidak lain adalah ajaran mengenai Hukum Alam. Dan karena itu untuk menetapkan apakah ada Hukum Alam maka perlu dibicarakan, sejarah Filsafat Hukum. Dan di sini juga akan dicoba membicarakan sejarah Filsafat Hukum itu berhubung dengan Hukum Alam, tetapi hanya mungkin sepintas lalu, dan tidak dapat dikemukakan semua pendapat-pendapat, tetapi hanya pendapat pokok. Di sini akan dibicarakan pendapat purbakala dan dimulai dengan Yunani lalu Romawi.
Kita mulai dengan Yunani, karena kota Yunani adalah tempat lahirnya Ilmu Filsafat Barat. Dan dengan demikian tidak mengherankan apabila kita mulai membicarakan Filsafat Hukum dari ahli-ahli filsafat bangsa Yunani. Mula-mula para ahli Filsafat Hukum Yunani berpendapat, bahwa segala hukum bersumber dari Tuhan. Dan pendapat ini mudah dimengerti, karena semua hukum pada ketika itu masih terdiri dari hukum kebiasaan yang belum dicatat. Peraturan-peraturan yang sejak sediakala dituruti dikira orang adalah tidak berubah-ubah dan sudah semestinya begitu (demikian) dan bersumber pada Tuhan.
FILSAFAT HUKUM (12)
Manusia, kata BENDER, yang dicipta oleh Tuhan mempunyai sifat sosial, yang berarti bahwa Tuhan telah memerintahkan dan menyatakan pada manusia untuk mendirikan suatu masyarakat, dan hidup serta bekerja dalam masyarakat itu bersama-sama dengan orang-orang lain. Dan oleh karena kekuasaan merupakan suatu bagian sungguh-sungguh dari suatu masyarakat, maka bersama-sama dengan masyarakat itu Tuhan juga telah memerintahkan dibentuknya kekuasaan. Jadi, kata BENDER, apabila manusia menjalankan perintah Tuhan dan mendirikan suatu masyarakat maka bersamaan dengan masyarakat itu mereka mencipta suatu kekuasaan. Dan selama belum ditunjuk orang-orang tertentu untuk menjalankan kekuasaan itu, maka kekuasaan itu dijalankan oleh masyarakat itu sendiri. Jadi menurut BENDER kekuasaan itu bersumber pada Tuhan, seperti juga halnya dengan masyarakat itu. Dan Tuhan memasrahkan pada manusia untuk menetapkan sendiri siapa yang akan menjalankan kekuasaan itu sendiri sebagai alat perlengkapan masyarakat tersebut. Dan undang-undang Ketuhanan yang memerintahkan bahwa harus ada masyarakat; dan dengan demikian juga kekuasaan; dan bahwa kekuasaan itu harus diakui, merupakan suatu kaidah Hukum Alam. Inilah bukti kedua yang dikemukakan BENDER.
Bukti ketiga menurut BENDER bahwa ada Hukum Alam yaitu sebagai berikut: Apabila betul tidak ada Hukum Alam, maka saban (tiap) undang-undang yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang adalah adil; dan segala sesuatu yang ditetapkan oleh pembentuk undang-undang merupakan sungguh-sungguh hukum. Akan tetapi tidak demikian halnya, karena ada undang-undang positif yang tidak adil, karena ada undang-undang yang menetapkan sesuatu yang dengan nyata merupakan ketidakadilan. Sebagai contoh disebutkan oleh BENDER antara lain apabila pembentuk undang-undang pada suatu ketika menetapkan bahwa seorang anak yang dilahirkan setelah ayahnya meninggal dunia tidak berhak atas sebagian dari harta peninggalan ayahnya, maka semua orang akan menyatakan bahwa undang-undang itu tidak adil.
Tadi telah dikemukakan, bahwa apabila mempelajari sejarah Filsafat Hukum ternyata, bahwa semua Hukum dari semula hingga awal abad 19 tidak lain adalah ajaran mengenai Hukum Alam. Dan karena itu untuk menetapkan apakah ada Hukum Alam maka perlu dibicarakan, sejarah Filsafat Hukum. Dan di sini juga akan dicoba membicarakan sejarah Filsafat Hukum itu berhubung dengan Hukum Alam, tetapi hanya mungkin sepintas lalu, dan tidak dapat dikemukakan semua pendapat-pendapat, tetapi hanya pendapat pokok. Di sini akan dibicarakan pendapat purbakala dan dimulai dengan Yunani lalu Romawi.
Kita mulai dengan Yunani, karena kota Yunani adalah tempat lahirnya Ilmu Filsafat Barat. Dan dengan demikian tidak mengherankan apabila kita mulai membicarakan Filsafat Hukum dari ahli-ahli filsafat bangsa Yunani. Mula-mula para ahli Filsafat Hukum Yunani berpendapat, bahwa segala hukum bersumber dari Tuhan. Dan pendapat ini mudah dimengerti, karena semua hukum pada ketika itu masih terdiri dari hukum kebiasaan yang belum dicatat. Peraturan-peraturan yang sejak sediakala dituruti dikira orang adalah tidak berubah-ubah dan sudah semestinya begitu (demikian) dan bersumber pada Tuhan.
Bagikan ini:
Most visitors also read :
BAB I: ISTILAH HUKUM PIDANA
SUMBER-SUMBER HUKUM (25)
SUMBER-SUMBER HUKUM (24)
SUMBER-SUMBER HUKUM (23)