Kita telah melihat bahwa pendapat penganut-penganut teori kuno keliru. Apa yang dikemukakan MONTESQUIEU bahwa hakim tidak lain daripada suatu mulut yang mengucapkan kata-kata dalam undang-undang adalah tidak benar. Memang mungkin suatu ketika untuk suatu perkara yang dikemukakan pada hakim dengan mudah diketahui undang-undang mana yang berlaku. Umpamanya A menjual mobil pada B dan B tidak membayar lalu A menuntut pembayaran; ini soal yang gampang. Dalam pasal 1513 Kitab Undang-Undang Perdata dapat dibaca apa yang harus ditetapkan oleh hakim. Tetapi kapankah seorang hakim menerima perkara yang segampang itu? Apabila perkaranya segampang itu tidak perlu hakim, tidak perlu mempelajari hukum.
Tetapi keadaannya berlainan. Pada umumnya bila seorang hakim menerima suatu perkara, seringkali belum diketahui apakah yang harus diperbuat; harus dipelajari dulu, harus diselidiki ketentuan apa yang harus diperlakukan. Lagi pula apabila ia telah menemui ketentuan undang-undangnya mungkin ternyata bahwa dalam ketentuan itu ada istilah-istilah yang tidak jelas, yang tidak diterangkan artinya oleh pembentuk undang-undang. Umpamanya pasal 233 ayat 2 Kitab Undang-Undang Perdata disebut sebagai salah satu alasan untuk menuntut perpisahan meja dan tempat tidur yaitu perbuatan-perbuatan melampaui batas. Apakah itu suatu perbuatan melampaui batas? Pembentuk undang-undang tidak memberi suatu penjelasan; tidak ada definisi untuk perbuatan melampaui batas. Lagi pula ada lain pertanyaan: Dalam pasal 233 ayat 2 tadi ditetapkan oleh pembentuk undang-undang sebagai suatu alasan untuk menuntut perpisahan meja dan tempat tidur yaitu perbuatan-perbuatan melampaui batas (perbuatan-perbuatan, jadi meervoud, jamak). Yang menjadi pertanyaan yaitu bagaimana apabila hanya satu perbuatan melampaui batas? Umpamanya si suami apabila pada waktu pergi ke kantor mengunci pintu supaya istri tidak dapat keluar, itu merupakan suatu perbuatan melampaui batas. Apakah perbuatan itu cukup untuk menuntut perpisahan meja dan tempat tidur, hal ini harus ditetapkan; hakim yang harus menafsirkannya. Dan dalam menafsirkan itu telah merupakan yurisprudensi tetap, bahwa walaupun dalam pasal 233 ayat 2 Kitab Undang-Undang Perdata disebut perbuatan-perbuatan melampaui batas, tetapi satu perbuatan melampaui batas sudah cukup. Tetapi hakim harus menetapkan apakah itu perbuatan melampaui batas; dan itu hanya dapat ditetapkan oleh hakim, oleh yurisprudensi tetap. Dan yurisprudensi tetap menerangkan: Suatu perbuatan dari salah satu pihak oleh karena mana tidak dapat diharapkan pihak lawan melanjutkan hidup bersama-sama. Inilah yurisprudensi tetap dari perbuatan melampaui batas. Berhubung gejala-gejala lain dalam masyarakat, perumusan ini mungkin berubah. Tetapi hingga sekarang ini merupakan yurisprudensi tetap. Hakim harus menetapkan apakah peristiwa yang dikemukakan padanya (misalnya mengunci pintu rumah bila pergi ke kantor) termasuk perumusan perbuatan melampaui batas. Soal demikian adalah soal yang harus ditetapkan hakim.
Jadi terang tidak benar apa yang dikemukakan MONTESQUIEU bahwa hakim hanya mengucapkan kata-kata dalam undang-undang. Juga tidak benar apa yang dikemukakan oleh JEAN JACQUES ROUSSEAU bahwa hakim merupakan suatu subsumptieautomaat. Tetapi hakim mencari hukum di luar undang-undang.
SOAL MENEMUI HUKUM (3)
Kita telah melihat bahwa pendapat penganut-penganut teori kuno keliru. Apa yang dikemukakan MONTESQUIEU bahwa hakim tidak lain daripada suatu mulut yang mengucapkan kata-kata dalam undang-undang adalah tidak benar. Memang mungkin suatu ketika untuk suatu perkara yang dikemukakan pada hakim dengan mudah diketahui undang-undang mana yang berlaku. Umpamanya A menjual mobil pada B dan B tidak membayar lalu A menuntut pembayaran; ini soal yang gampang. Dalam pasal 1513 Kitab Undang-Undang Perdata dapat dibaca apa yang harus ditetapkan oleh hakim. Tetapi kapankah seorang hakim menerima perkara yang segampang itu? Apabila perkaranya segampang itu tidak perlu hakim, tidak perlu mempelajari hukum.
Tetapi keadaannya berlainan. Pada umumnya bila seorang hakim menerima suatu perkara, seringkali belum diketahui apakah yang harus diperbuat; harus dipelajari dulu, harus diselidiki ketentuan apa yang harus diperlakukan. Lagi pula apabila ia telah menemui ketentuan undang-undangnya mungkin ternyata bahwa dalam ketentuan itu ada istilah-istilah yang tidak jelas, yang tidak diterangkan artinya oleh pembentuk undang-undang. Umpamanya pasal 233 ayat 2 Kitab Undang-Undang Perdata disebut sebagai salah satu alasan untuk menuntut perpisahan meja dan tempat tidur yaitu perbuatan-perbuatan melampaui batas. Apakah itu suatu perbuatan melampaui batas? Pembentuk undang-undang tidak memberi suatu penjelasan; tidak ada definisi untuk perbuatan melampaui batas. Lagi pula ada lain pertanyaan: Dalam pasal 233 ayat 2 tadi ditetapkan oleh pembentuk undang-undang sebagai suatu alasan untuk menuntut perpisahan meja dan tempat tidur yaitu perbuatan-perbuatan melampaui batas (perbuatan-perbuatan, jadi meervoud, jamak). Yang menjadi pertanyaan yaitu bagaimana apabila hanya satu perbuatan melampaui batas? Umpamanya si suami apabila pada waktu pergi ke kantor mengunci pintu supaya istri tidak dapat keluar, itu merupakan suatu perbuatan melampaui batas. Apakah perbuatan itu cukup untuk menuntut perpisahan meja dan tempat tidur, hal ini harus ditetapkan; hakim yang harus menafsirkannya. Dan dalam menafsirkan itu telah merupakan yurisprudensi tetap, bahwa walaupun dalam pasal 233 ayat 2 Kitab Undang-Undang Perdata disebut perbuatan-perbuatan melampaui batas, tetapi satu perbuatan melampaui batas sudah cukup. Tetapi hakim harus menetapkan apakah itu perbuatan melampaui batas; dan itu hanya dapat ditetapkan oleh hakim, oleh yurisprudensi tetap. Dan yurisprudensi tetap menerangkan: Suatu perbuatan dari salah satu pihak oleh karena mana tidak dapat diharapkan pihak lawan melanjutkan hidup bersama-sama. Inilah yurisprudensi tetap dari perbuatan melampaui batas. Berhubung gejala-gejala lain dalam masyarakat, perumusan ini mungkin berubah. Tetapi hingga sekarang ini merupakan yurisprudensi tetap. Hakim harus menetapkan apakah peristiwa yang dikemukakan padanya (misalnya mengunci pintu rumah bila pergi ke kantor) termasuk perumusan perbuatan melampaui batas. Soal demikian adalah soal yang harus ditetapkan hakim.
Jadi terang tidak benar apa yang dikemukakan MONTESQUIEU bahwa hakim hanya mengucapkan kata-kata dalam undang-undang. Juga tidak benar apa yang dikemukakan oleh JEAN JACQUES ROUSSEAU bahwa hakim merupakan suatu subsumptieautomaat. Tetapi hakim mencari hukum di luar undang-undang.
Bagikan ini:
Most visitors also read :
BAB I: ISTILAH HUKUM PIDANA
SUMBER-SUMBER HUKUM (25)
SUMBER-SUMBER HUKUM (24)
SUMBER-SUMBER HUKUM (23)