SIFAT MEMAKSA BUKAN BAGIAN ESENSIAL HUKUM

Juli 18th, 2016

Seperti dikemukakan pada kuliah-kuliah yang lalu, ketentuan-ketentuan hukum dapat dilihat atas alat paksaan yaitu pada umumnya hukum itu mewajibkan, hukum itu memaksa. Akan tetapi kita juga telah melihat bahwa sesungguhnya paksaan itu tidak merupakan bagian yang esensial. Tetapi bila ada alat paksaan itu, itu mungkin merupakan tindakan dari luar, baik represif maupun preventif.

Berhubung dengan sifat memaksa ini yang pada umumnya terdapat pada hukum, maka ada guru besar dan ahli-ahli hukum yang menerangkan, bahwa beda antara hukum dan kaidah-kaidah yang lain yaitu, bahwa hukum itu mempunyai sifat memaksa. Sebelumnya, juga THOMAS HOBBES telah menerangkan demikian. HOBBES menerangkan, bahwa hukum itu tidak lain daripada suatu ketentuan tingkah laku yang dibebankan dan dipaksakan oleh kekuasaan tertinggi.

Prof. Mr. F. D. HOLLEMAN (seorang guru besar Hukum Adat) mengemukakan yang sama berhubung dengan beda antara Hukum Adat dan Adat; perbedaan antara Hukum Adat dan Adat yaitu, bahwa Hukum Adat mempunyai sanksi.

Kita telah membicarakan bermacam sanksi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, seperti hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan, hukuman denda. Juga dalam Hukum Acara Perdata ada sanksi-sanksi seperti “uang paksa”.

Pada zaman dahulu hukum dipertahankan secara lain. Dalam zaman dahulu hukum dipertahankan dengan yang disebut “bloedwraak”, yaitu dalam hal seorang dibunuh maka keluarga orang yang dibunuh dapat membalas dengan membunuh si pembunuh. Inilah yang dinamakan “bloedwraak”, atau seperti yang dikenal di Amerika (di antara suku bangsa Indian) “tweekamp”.

Tetapi tindakan-tindakan semacam itu, sanksi semacam itu, mempertahankan hukum secara demikiann, hal itu merupakan tindakan sendiri sebagai hakim atau “eigenrichting”; dalam hal ini sekarang tidak diperbolehkan. Dalam suatu masyarakat yang teratur tindakan sendiri sebagai hakim tidak mungkin. Dalam undang-undang hanya masih ada sisa-sisanya eigenrichting umpamanya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam pasal 49 ayat 1 yang menetapkan sebagai berikut: “Tiada boleh dihukum barangsiapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dikerjakan untuk membela dirinya sendiri atau diri orang lain, membela perikesopanan sendiri atau kesopanan orang lain atau membela harta benda kepunyaannya sendiri atau kepunyaan orang lain, daripada serangan yang melawan hukum dan yang berlaku sekejap itu atau yang mengancam dengan seketika.” Tindakan yang masih terdapat dalam pasal 49 ayat 1 ini dinamakan dalam bahasa hukum suatu tindakan dalam keadaan noodweer (bela paksa).

Jadi terang tindakan sendiri sebagai hakim tidak mungkin, dilakukan dalam suatu negara hukum yang teratur. Apabila sekarang juga barang saudara dirusak, saudara dapat minta bantuan yang berwajib supaya barangnya tidak diganggu lagi dan supaya membayar ganti kerugian. Tetapi tindakan sendiri sebagai hakim tidak diperkenankan.

Tadi telah diterangkan bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pembentuk undang-undang menyebut beberapa alat-alat paksaan, seperti hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda. Tetapi juga di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat alat-alat paksaan. Umpamanya dalam Hukum Acara Perdata dikenal “uang paksa” (“dwangsom”) yaitu dalam pasal 606a. Reglement opde Rechtsvordering, dan “penyanderaan” atau “gijzeling” (pasal 209 Regelemen Indonesia yang Dibaharui). Di sini minta perhatian, bahwa “dwangsom” tidak sama dengan denda yang disebut dalam pasal 1304 dan seterusnya Kitab Undang-Undang Perdata. Karena denda dalam Kitab Undang-Undang Perdata hanya mungkin apabila terlebih dahulu telah diperjanjikan dalam suatu perjanjian oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Sedangkan “dwangsom” tidak perlu. Ini nanti akan dibicarakan lebih mendalam apabila membicarakan Hukum Acara Perdata.

(bersambung)

Tagging: , , ,

Most visitors also read :



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.