Di tulisan saya terdahulu telah diterangkan bagaimana ‘nasib’ suatu lot komponen yang tiba di suatu pabrik misalnya, bersifat untung-untungan. Lot tersebut mungkin ditolak, mungkin juga diterima, tergantung hasil sampling. Dalam acceptance sampling, terdapat dua jenis risiko yang tidak bisa dihindari, yaitu risiko produsen dan risiko konsumen. Tulisan saya kali ini akan membahas masalah risiko produsen.
Bayangkan Anda sekarang di pihak “penerima barang” yang diistilahkan dengan konsumen. Sebagai pihak lawannya, yaitu “pengirim barang” kita istilahkan dengan produsen. Anggaplah barang yang kita terima tadi cukup aman untuk dikenakan sampling (bukan 100% inspection), sehingga pada kenyataannya mungkin saja ada sebagian barang cacat yang kita terima, lolos dari pemeriksaan/sampling. Sebelum kita mendapatkan kiriman barang, tentu sebelumnya ada kegiatan pemesanan/order dan lazimnya sebelum pemesanan dilakukan, antara kita dan pihak pemasok (= “pengirim barang”) membuat kesepakatan; salah butir kesepakatan adalah mengenai persentase kecacatan barang yang dikirim. Tentunya kita mengharapkan barang yang kita terima mengandung sesedikit mungkin barang cacat. Di pihak lain, yaitu produsen, produksi barang secara kontinu dilakukan dan di antara barang yang dihasilkannya 100p% dalam keadaan cacat. [p ini adalah proporsi barang cacat yang dihasilkan produsen, nilai ini tidak pernah diketahui konsumen.] Ketika kita melakukan pemesanan, kita memberitahu produsen bahwa barang yang dikirim nanti hendaknya tidak mengandung lebih dari 4% yang cacat. Itu adalah keinginan kita sebagai konsumen, di mana kita berharap produsen sanggup memenuhi keinginan tersebut. Pada kenyataannya, konsumen tidak pernah tahu nilai p! Bisa saja terjadi 100p% ≤ 4%, bisa juga 100p% > 4%. Anggaplah p = 0,02. Jadi, produsen tersebut mengirimkan lot-lot yang secara rata-rata terdapat 2% barang cacat di dalamnya. Apakah lot yang mengandung 2% barang cacat ini akan diterima menurut prosedur sampling yang diterapkan konsumen? Belum tentu juga! Seperti telah berulang kali diterangkan, ‘nasib’ lot selalu bersifat untung-untungan! Jadi, mungkin saja dengan prosedur sampling yang kita terapkan, kita malah menolak lot yang sebenarnya sesuai “keinginan” (yaitu p ≤ 0,04). Ketika kita menolak lot semacam ini, berarti kita telah melakukan suatu kesalahan menolak lot yang “baik”. Besarnya peluang kita menolak lot yang “baik” inilah yang disebut dengan risiko produsen, yang biasa dilambangkan dengan α. Dengan menamakan 4% tersebut sebagai AQL (Acceptable Quality Level), secara lebih tepat dapat dikatakan bahwa risiko produsen adalah besarnya peluang ditolaknya lot dengan nilai p ≤ AQL. Tentunya produsen mengharapkan, dengan prosedur sampling yang diterapkan konsumen, lot-lot dengan p ≤ AQL sesedikit mungkin mengalami penolakan (α harus sekecil mungkin).
Perlu dijelaskan di sini bahwa nilai p pada kenyataannya belum tentu sama dengan AQL! Mari kita pelajari definisi AQL dari beberapa sumber. Menurut Montgomery, “The AQL represents the poorest level of quality for the vendor’s process that the consumer would consider to be acceptable as a process average.” Selanjutnya, Montgomery pun menyatakan, “It is simply a standard against with to judge the lots.” Mari kita bandingkan dengan pendapat Besterfield, “The AQL is designated in the contract or by the responsible authority.” Dapat kita simpulkan dari kedua pendapat tersebut:
Dengan menyatakan AQL = p1, konsumen mengharap bahwa p < p1 [process average < AQL]. Namun seandainya pun p = p1, lot tersebut masih dianggap konsumen sebagai memenuhi harapan dan karena itu lot diterima. Ini yang dimaksud oleh Montgomery AQL sebagai the poorest level of quality for the vendor’s process that the consumer would consider to be acceptable as a process average. Secara umum, diharapkan konsumen bahwa p ≤
p bersifat objektif (menyatakan proporsi barang cacat sesungguhnya yang dihasilkan produsen), sedangkan AQL bisa ditentukan oleh suatu otoritas di pihak konsumen. Keinginan konsumen berkenaan dengan AQL ini bisa dituangkan dalam suatu berkas kontrak yang tentunya produsen diminta untuk mematuhinya. AQL inilah yang digunakan sebagai acuan dalam “menghakimi” lot berdasarkan prosedur sampling yang diberlakukan.
Jika AQL diketahui dan kedua paramater dalam single-samplingplan (yaitu n dan c) juga diketahui, maka risiko produsen (= α) dapat dihitung sebagai berikut.
dengan p1 = AQL.
Contoh:
Apabila diterapkan single-samplingplan dengan n = 63 dan c = 5 dan diketahui AQL = 4%, berapakah risiko produsen? Apa makna hasil tersebut?
Jawab:
Soal ini mempertanyakan risiko produsen, yaitu α. Substusikan n = 63, c = 5, dan p1 = 0,04 ke dalam rumus di atas, diperoleh:
Jadi, besarnya risiko produsen adalah 4%. Hasil 4% ini menunjukkan besarnya peluang terjadinya kesalahan berupa penolakan lot yang proporsi barang cacat di dalamnya tidak melebihi AQL yang ditetapkan.
RISIKO PRODUSEN DALAM ACCEPTANCE SAMPLING
Di tulisan saya terdahulu telah diterangkan bagaimana ‘nasib’ suatu lot komponen yang tiba di suatu pabrik misalnya, bersifat untung-untungan. Lot tersebut mungkin ditolak, mungkin juga diterima, tergantung hasil sampling. Dalam acceptance sampling, terdapat dua jenis risiko yang tidak bisa dihindari, yaitu risiko produsen dan risiko konsumen. Tulisan saya kali ini akan membahas masalah risiko produsen.
Bayangkan Anda sekarang di pihak “penerima barang” yang diistilahkan dengan konsumen. Sebagai pihak lawannya, yaitu “pengirim barang” kita istilahkan dengan produsen. Anggaplah barang yang kita terima tadi cukup aman untuk dikenakan sampling (bukan 100% inspection), sehingga pada kenyataannya mungkin saja ada sebagian barang cacat yang kita terima, lolos dari pemeriksaan/sampling. Sebelum kita mendapatkan kiriman barang, tentu sebelumnya ada kegiatan pemesanan/order dan lazimnya sebelum pemesanan dilakukan, antara kita dan pihak pemasok (= “pengirim barang”) membuat kesepakatan; salah butir kesepakatan adalah mengenai persentase kecacatan barang yang dikirim. Tentunya kita mengharapkan barang yang kita terima mengandung sesedikit mungkin barang cacat. Di pihak lain, yaitu produsen, produksi barang secara kontinu dilakukan dan di antara barang yang dihasilkannya 100p% dalam keadaan cacat. [p ini adalah proporsi barang cacat yang dihasilkan produsen, nilai ini tidak pernah diketahui konsumen.] Ketika kita melakukan pemesanan, kita memberitahu produsen bahwa barang yang dikirim nanti hendaknya tidak mengandung lebih dari 4% yang cacat. Itu adalah keinginan kita sebagai konsumen, di mana kita berharap produsen sanggup memenuhi keinginan tersebut. Pada kenyataannya, konsumen tidak pernah tahu nilai p! Bisa saja terjadi 100p% ≤ 4%, bisa juga 100p% > 4%. Anggaplah p = 0,02. Jadi, produsen tersebut mengirimkan lot-lot yang secara rata-rata terdapat 2% barang cacat di dalamnya. Apakah lot yang mengandung 2% barang cacat ini akan diterima menurut prosedur sampling yang diterapkan konsumen? Belum tentu juga! Seperti telah berulang kali diterangkan, ‘nasib’ lot selalu bersifat untung-untungan! Jadi, mungkin saja dengan prosedur sampling yang kita terapkan, kita malah menolak lot yang sebenarnya sesuai “keinginan” (yaitu p ≤ 0,04). Ketika kita menolak lot semacam ini, berarti kita telah melakukan suatu kesalahan menolak lot yang “baik”. Besarnya peluang kita menolak lot yang “baik” inilah yang disebut dengan risiko produsen, yang biasa dilambangkan dengan α. Dengan menamakan 4% tersebut sebagai AQL (Acceptable Quality Level), secara lebih tepat dapat dikatakan bahwa risiko produsen adalah besarnya peluang ditolaknya lot dengan nilai p ≤ AQL. Tentunya produsen mengharapkan, dengan prosedur sampling yang diterapkan konsumen, lot-lot dengan p ≤ AQL sesedikit mungkin mengalami penolakan (α harus sekecil mungkin).
Perlu dijelaskan di sini bahwa nilai p pada kenyataannya belum tentu sama dengan AQL! Mari kita pelajari definisi AQL dari beberapa sumber. Menurut Montgomery, “The AQL represents the poorest level of quality for the vendor’s process that the consumer would consider to be acceptable as a process average.” Selanjutnya, Montgomery pun menyatakan, “It is simply a standard against with to judge the lots.” Mari kita bandingkan dengan pendapat Besterfield, “The AQL is designated in the contract or by the responsible authority.” Dapat kita simpulkan dari kedua pendapat tersebut:
Jika AQL diketahui dan kedua paramater dalam single-sampling plan (yaitu n dan c) juga diketahui, maka risiko produsen (= α) dapat dihitung sebagai berikut.
dengan p1 = AQL.
Contoh:
Apabila diterapkan single-sampling plan dengan n = 63 dan c = 5 dan diketahui AQL = 4%, berapakah risiko produsen? Apa makna hasil tersebut?
Jawab:
Soal ini mempertanyakan risiko produsen, yaitu α. Substusikan n = 63, c = 5, dan p1 = 0,04 ke dalam rumus di atas, diperoleh:
α ≈ 1 – (0,0764+0,2005+0,2590+0,2195+0,1372+0,0674) = 1-0,9600 = 0,0400
Jadi, besarnya risiko produsen adalah 4%. Hasil 4% ini menunjukkan besarnya peluang terjadinya kesalahan berupa penolakan lot yang proporsi barang cacat di dalamnya tidak melebihi AQL yang ditetapkan.
Bagikan ini:
Most visitors also read :
DEKOMPOSISI NILAI SINGULAR (SINGULAR VALUE DECOMPOSITION)
MAXIMUM LIKELIHOOD ESTIMATOR
JARAK STATISTIKAL
SOAL DAN PEMBAHASAN ANALISIS KOMPONEN UTAMA