PENELITIAN KOMUNIKASI DENGAN PENDEKATAN POSMODERNISME
Agustus 22nd, 2019
Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk berpikir senantiasa mencari kebenaran. Khususnya “kaum intelektual” seperti akademisi, para peneliti, menghamburkan waktunya sebagian untuk “mencari kebenaran” melalui apa yang disebut penelitian, yaitu penelitian ilmiah. Setiap penelitian tidak bisa terlepas dari yang disebut dengan paradigma penelitian. Creswell (2014) menggunakan istilah world view untuk paradigma. Paradigma itu sendiri adalah kepercayaan dasar yang memandu tindakan. Secara sepintas dapat dinyatakan bahwa paradigma penelitian adalah kepercayaan dasar yang dianut peneliti yang dijadikan pedoman peneliti dalam menempuh langkah-langkah spesifik dalam penelitian yang dilakukannya. Dari uraian ini menjadi jelas betapa berpengaruhnya paradigma terhadap perjalanan penelitian. Seiring dengan perubahan-perubahan periode kultural, alternatif-alternatif terhadap paradigma penelitian bertambah, demikian pula halnya dengan paradigma-paradigma yang digunakan dalam penelitian komunikasi menjadi lebih beragam. Posmodernisme (post-modernism) merupakan salah satu paradigma baru yang populer di akhir abad keduapuluh. Terlepas dari pujian maupun ejekan terhadap paradigma baru ini, cara pikir posmodernisme menuntut revisi terhadap metode-metode penelitian komunikasi yang sudah biasa dipergunakan dengan paradigma-paradigma sebelummya. Karya kecil ini mengarahkan para peneliti di lapangan ilmu komunikasi mengenai bagaimana metode penelitian komunikasi diterapkan dengan gaya posmodernisme ini.
Posmodernisme secara singkat
Diartikan secara harfiah, posmodernisme (dari kata post-modernism) berarti setelah-modernisme atau pascamodernisme. Apabila kita merujuk pada deret waktu, memang posmodernisme muncul setelah munculnya modernisme. Tetapi ini bukan berarti bahwa posmodernisme muncul setelah modernisme usai. Justru posmodernisme ini muncul ketika masa modernisme berlangsung; postmodernisme muncul di “di tengah” perjalanan modernisme. Posmodernisme ini muncul sebagai reaksi atau sebagai kritik terhadap “cara pikir” modernisme. Modernisme dinilai telah gagal di dalam mengatasi isu-isu budaya dan sosial yang penting, seperti kemiskinan, ketidakadilan sosial, kerusakan dalam penyelenggaraan dunia politik, ekonomi, dan sebagainya. Lebih khusus lagi, eksploitasi tenaga kerja, kejahatan genosida, disintegrasi bangsa, juga merupakan bukti kegagalan cara pikir modernisme.
Tidak ada definisi yang tepat bagi posmodernisme. Tetapi ini bukan berarti bahwa posmodernisme tidak dapat dipahami. Untuk memahami ini, salah satu yang mungkin adalah memahami terlebih dahulu bagaimana modernisme, karena posmodernisme merupakan kritik terhadap modernisme. Modernisme didominasi oleh pengagung-agungan terhadap rasio dan metode ilmiah, yang pada akhirnya menghasilkan teknologi canggih dan kemajuan lainnya. Dalam pandangan modernisme, buah rasio manusia merupakan segala-galanya dan akan membawakan manusia pada kemakmuran, keadilan, ketenteraman, dan harmoni. Kapan era modernisme dan apa ciri-cirinya? Walaupun tidak ada kesamaan pendapat mengenai kapan era modernisme tersebut, sebagian menganggap era modernisme berlangsung 1850-1965. Era modernisme ini ditandai dengan: 1) metode ilmiah diterima sebagai satu-satunya pendekatan yang sahih untuk mendapatkan pengetahuan, 2) alam semesta dipandang sebagai suatu sistem mekanis yang tersusun atas bahan-bahan dasar bangunan, 3) kehidupan dipahami sebagai suatu perjuangan kompetitifuntuk mempertahankan hidup, dan 4) kemajuan material tanpa batas dapat dilakukan melalui pertumbuhan ekonomi dan teknologi yang berkelanjutan (Capra, 1982). Keempat ciri tersebut menjadi asumsi yang dominan dari era modernisme. Sepanjang abad ke-19, para ilmuwan terus mendalami model mekanistik alam semesta dalam ilmu fisika, kimia, biologi, psikologi, dan ilmu-ilmu sosial (Capra, 1982). Di era modernisme ini pula, paradigma positivistik banyak memayungi penelitian ilmu alam maupun ilmu sosial, termasuk ilmu komunikasi. Positivisme timbul dari pemikiran Auguste Comte (1798-1957), seorang bangsa Perancis yang dianggap sebagai “bapak sosiologi”. Positivisme memiliki lima prinsip berikut: 1) Logika penelitian adalah sama di semua ilmu (baik ilmu sosial maupun ilmu alam), 2) Tujuan dari penelitian adalah untuk menjelaskan dan meramalkan, dan dengan demikian untuk menemukan syarat perlu dan cukup untuk setiap fenomena, 3) Penelitian harus dapat diamati secara empiris dengan indera manusia, dan harus menggunakan logika induktif untuk mengembangkan pernyataan yang dapat diuji, 4) Ilmu pengetahuan berbeda dari akal sehat dan para peneliti harus berhati-hati untuk tidak membiarkan akal sehat membiaskan penelitian mereka, dan 5) Sains harus dinilai dengan logika, dan sebisa mungkin harus bebas nilai. Tujuan akhir sains adalah menghasilkan pengetahuan, terlepas dari politik, moral, nilai, dll. (https://www.philosophybasics.com/branch_positivism.html). Pandangan positivisme ini begitu kuat mengklaim bahwa ilmu (sains) adalah ilmu pengetahuan yang nyata dan positivistik, sehingga ilmu pengetahuan yang tidak positivistik bukanlah ilmu (sains). (Bungin, 2014). Di sini tampak betapa arogannya positivisme, sehingga penelitian-penelitian ilmu komunikasi pun harus positivistik apabila ingin disebut sebagai ilmu pengetahuan! Beruntungnya, banyak pula pemikir yang tidak sependapat dengan ajaran positivistik tersebut. Tadi telah disebutkan bahwa modernisme banyak mengagung-agungkan positivisme. Sebagai reaksi atas modernisme yang ternyata telah banyak menimbulkan penderitaan bagi umat manusia (sebagai contoh: bahaya nuklir dalam perang, polusi udara dan eksploitasi tenaga kerja akibat industrialisasi, kejahatan genosida), muncullah isme baru yang dinamakan posmodernisme. Untuk memahami bagaimana cara pandang posmodernisme bertentangan dengan modernisme kita dapat merujuk pada Wijayati dan Rachmawati (2019). Menurut mereka, secara umum posmodernisme memiliki ciri sebagai berikut: 1) Kebenaran bersifat subjektif dan tidak mutlak. Setiap individu dapat membentuk sendiri kebenaran sesuai dengan konteks, waktu, dan tempat. Akibatnya, kebenaran menjadi sesuatu yang beragam. 2) Posmodernisme tidak menerima segala sesuatu yang sifatnya universal dan bertujuan untuk generalisasi, 3) Posmodernisme menolak akan adanya metode ilmiah dalam menemukan kebenaran, karena ini akan mengarah pada kebenaran mutlak. Posmodernisme berpandangan bahwa kebenaran bersifat dinamis. 4) Posmodernisme berpandangan bahwa ilmu pengetahuan yang ada di luar sana tidak bebas nilai (value free). Nilai-nilai tersebut bergantung pada masyarakat yang melingkupinya dan keyakinan penemu ilmu itu sendiri. 5) Intuisi merupakan aspek penting untuk menangkap makna yang ada di dunia, sehingga dapat membebaskan individu dari sesuatu yang membelenggu dirinya. Gejala posmodernisme pun dapat dilihat dari ciri-ciri sosiologis sebagai berikut (Utomo dan Hutapea, 2014): 1) Munculnya pemberontakan secara kritis terhadap modernitas. Kemudian, diterimanya pandangan pluralisme relativisme akan kebenaran dan mulai memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden. 2) Kemunculan radikalisme etnis dan keagamaan. Ini merupakan reaksi terhadap orang-orang yang mulai meragukan kebenaran sains, teknologi, dan filsafat yang dinilai telah gagal memenuhi janjinya, berupa pembebasan manusia. Yang terjadi sebaliknya, penindasan. 3) Industri media massa yang semakin marak. 4) Terbukanya peluang yang lebih besar bagi kelompok sosial untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas, 5) Wilayah perkotaan menjadi pusat kebudayaan. 6) Timbulnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi, 7) Bahasa dalam konsep posmodernisme seringkali mencerminkan ketidakjelasan makna, 8) Kemunculan eclecticism. Cara pandang posmodernisme ini tentunya membawa pengaruh pada penelitian sosial, sehingga penelitian sosial yang posmodernis memiliki sifat-sifat sebagai berikut (Neuman, 2000): 1) penolakan terhadap semua ideologi dan sistem kepercayaan yang terorganisir, termasuk semua teori sosial. 2) sangat mengandalkan intuisi, imajinasi, pengalaman pribadi, dan emosi. 3) rasa ketidakberartian dan pesimisme, keyakinan bahwa dunia tidak akan pernah membaik, 4) subjektivitas ekstrim, tidak ada perbedaan antara dunia mental dan dunia luar, 5) relativisme yang sangat, di mana tak berhingga banyaknya interpretasi, tidak ada yang superior atas yang lain, 6) mendukung perbedaan, chaos, dan kompleksitas yang terus berubah, 7) penolakan untuk mempelajari masa lalu atau tempat yang berbeda karena hanya di sini dan saat ini yang relevan, 8) keyakinan bahwa kausalitas tidak dapat dipelajari karena kehidupan terlalu kompleks dan berubah cepat, 9) pernyataan tegas bahwa penelitian tidak akan pernah benar-benar mewakili apa yang terjadi di dunia sosial.
Uraian di atas telah menunjukkan betapa berbeda pandangan modernisme dengan posmodernisme, khususnya pada cara mereka memandang realitas dan mendapatkan pengetahuan. Dalam kaitannya dengan mendapatkan pengetahuan, posmodernisme tentunya membawa warna sendiri bagi corak penelitian sosial pada umumnya, dan dalam kasus ini adalah penelitian komunikasi.
Penelitian komunikasi gaya posmodernisme
Pengaruh modernisme masih terasa dalam penelitian-penelitian komunikasi. Selama lebih dari 100 tahun, penelitian-penelitian komunikasi (dan pada umumnya penelitian sosial) merupakan penelitian yang sifatnya eksplanatif dan berupaya meramalkan perilaku manusia (Shipman, 1997). Walaupun penelitian komunikasi dimulai sejak sekitar tahun 1920, penelitian ini dipengaruhi tradisi ilmu sosial umum. “Konsep ilmu komunikasi manusia bertumpu pada asumsi optimis bahwa perilaku dapat dipahami dan ditingkatkan melalui studi sistematis.” Penelitian perilaku komunikasi menghasilkan pemahaman, penjelasan, prediksi, dan pengendalian (Berger & Chaffee, 1987).
Meskipun Carl Hovland dan Paul Lazarsfeld, dan juga para peneliti lainnya, menetapkan landasan filosofis dan pendekatan-pendekatan dasar bagi penelitian komunikasi selama tahun-tahun awal, penelitian komunikasi mengalami periode perkembangan terbesar pada tahun-tahun setelah Perang Dunia II. “Konsentrasi pada survei dan penelitian eksperimental dan preferensi terhadap data kuantitatif dan analisis statistik … membentuk hirarki metode yang jelas” yang mengurangi eksistensi pendekatan metodologis lainnya. Selain itu, teks-teks metode penelitian yang digunakan “untuk melatih generasi baru para peneliti komunikasi terkonsentrasi hampir seluruhnya pada teknik survei, eksperimental, dan statistika” (Delia, 1987). Namun, dalam beberapa tahun terakhir pandangan kuantitatif yang dominan ini telah sedikit diubah dan metodologi-metodologi kualitatif dianggap sahih/valid. Namun, pendekatan kuantitatif tetap merupakan pengaruh yang kuat dan terbesar di bidang penelitian komunikasi. Penelitian komunikasi, bersama dengan penelitian dalam disiplin ilmu seperti psikologi, sosiologi, dan ilmu politik, berada dalam tradisi ilmu sosial mainstream, sebuah tradisi yang didasarkan pada paradigma yang terkenal dengan nama paradigma mekanis Newton.
Setelah kita mengetahui perubahan pemikiran yang dihasilkan dari budaya posmodernisme, kita dapat mempertanyakan hal-hal yang sangat mendasar dalam penelitian komunikasi. Para opinion leader komunikasi telah mendefinisikan dalam area mana seseorang dapat meneliti, dan mereka telah mendefinisikannya dengan tepat. Definisi umum dari “ilmu komunikasi” adalah sebagai berikut: “Ilmu komunikasi berusaha untuk memahami produksi, pemrosesan, dan dampak dari sistem simbol dan sinyal dengan mengembangkan teori-teori yang dapat diuji, yang memuat generalisasi yang sah, yang menjelaskan fenomena yang terkait dengan produksi, pemrosesan, dan dampak-dampak tersebut” (Berger&Chaffee, 1987). Dengan sementara mengabaikan kualitas yang agak samar dari definisi ini, perhatikan bahwa “sebagian besar sarjana dalam disiplin ilmu ini melihat kesesuaian yang cukup erat antara penelitian mereka dengan pandangan yang dikemukakan definisi tersebut” (Berger&Chaffee, 1987). Walau demikian, sebagian peneliti komunikasi dianggap tidak melakukan penelitian komunikasi karena pekerjaan mereka tidak “berasal dari teori ilmiah apa pun.” Lebih lanjut, “peneliti yang tugasnya membuat penilaian etis atau moral tentang perilaku komunikasi orang atau institusi, bukanlah ilmuwan komunikasi” menurut definisi sebelumnya. Mereka juga dianggap bukan reformis yang berusaha mengubah kebijakan publik dan bukan juga analis yang berusaha menjelaskan peristiwa komunikasi individu dengan cara mereka sendiri, apabila mereka tidak ditopang prinsip-prinsip teoretis yang lebih luas” (Berger&Chaffee, 1987). Dengan kata lain, sejumlah kecil ilmuwan komunikasi, semuanya tampak mengikuti pemikiran ilmu sosial mainstream, telah mendefinisikan bidang penelitian komunikasi sesuai dengan apa yang mereka lakukan, dan karena mereka mengacu pada definisi ini, mereka adalah satu-satunya “penengah” dari hal-hal yang merupakan kegiatan penelitian yang tepat. Adalah pandangan sempit tentang apa itu ilmu komunikasi dan pembatasan penggalian pengetahuan sebagai akibatnya itulah yang ditolak oleh kaum posmodernis.
Ada sedikit keraguan bahwa ilmu-ilmu humaniora terlibat dalam perdebatan panjang tentang paradigma dan metode-metode penelitian “(Lincoln, 1998). “Jika, misalnya (seperti pendapat kaum posmodernis), tidak ada realitas tunggal tempat mana ilmu sosial harus dapat bertemu, maka kita harus mengumpulkan berbagai versi realitas (atau konstruksi sosial terhadap realitas). Seperti yang dikatakan Leshan dan Margenau (1982), “kita tidak dapat hanya memiliki sekumpulan prinsip tentang bagaimana realitas berlangsung”. Lyotard (1984) berpendapat bahwa pengetahuan ilmiah merupakan sejenis wacana, tetapi itu tidak mewakili totalitas pengetahuan; pengetahuan ilmiah selalu berdampingan dengan jenis pengetahuan lain (bahkan kadang-kadang bertentangan).
Tidak mudah untuk membangun cara baru dalam melakukan penelitian, atau bahkan memodifikasi beberapa cara penelitian yang berlangsung sekarang. Metode-metode dan praktik saat ini sangat mendarah daging di berbagai program studi ilmu komunikasi dan jurnal-jurnal penelitian. Para individu yang melakukan penelitian dan mereka yang memiliki posisi kuat sebagai editor jurnal ilmiah, bersama dengan mereka yang menyatakan penelitian sebagai wilayah mereka di program studi, kemungkinan tidak akan mau menerima banyak perubahan dalam kaitannya dengan posmodernisme. Meskipun perubahan tidak terhindarkan, banyak orang tidak mau menerima perubahan jika mengakibatkan mereka harus mengubah gaya meneliti mereka sendiri secara signifikan.
“Posmodernisme merupakan upaya terbaik peradaban Barat sampai saat ini untuk mengkritisi asumsi yang paling mendasarnya sendiri, khususnya asumsi-asumsi yang mendasari realitas, subjektivitas, penelitian, dan pengetahuan” (Scheurich, 1997). Ilmu komunikasi /ilmu sosial yang sekarang berusaha “untuk menurunkan aturan ilmiah yang ketat untuk menciptakan korespondensi satu-satu antara apakah realitas itu dan bagaimana realitas diwakili dalam penelitian sehingga representasi tersebut tidak menimbulkan bias oleh peneliti …” (Scheurich, 1997). Penelitian ilmu sosial saat ini, yang biasa disebut positivisme, mengangkat ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya sumber kebenaran absolut. “Bagi kaum positivis, cara untuk mengetahui (epistemologi positivis) menjamin fakta bahwa representasi penelitian dari realitas benar-benar mewakili kenyataan” (Scheurich, 1997). Posmodernis merasa ini salah karena dalam budaya kontemporer, “realitas adalah produksi sosial yang dipentaskan” (Denzin, 1991), tidaklah mungkin untuk menghilangkan bias peneliti, dan kebenaran absolut mungkin tidak ada.
Posmodernis memandang metodologi penelitian saat ini hanya sebagai metanarasi. Menurut Lyotard, metanarasi adalah “prinsip-prinsip dan mitologi penuntun universal, yang dulunya tampak mengendalikan, membatasi, dan menafsirkan semua bentuk beragam dari aktivitas diskursif di dunia” (Connor, 1989). Lyotard mendesak kita untuk tidak terlalu percaya akan metanarasi. Metanarasi hanyalah cara orang mengorganisir dan memperoleh makna dari pengalaman, dan tidak ada bukti yang jelas bahwa suatu metanarasi lebih baik daripada metanarasi lain. “Narasi-narasi besar, yang dahulu disebut “teori”, sekarang dipandang sebagai “cerita”, kisah-kisah besar yang diceritakan mengenai kehidupan sosial dan dihubungkan dengan perspektif dan minat para penutur cerita mereka” (Gubrium & Holstein, 1997).
Adalah mudah untuk melihat bagaimana konsep ini berlaku dalam riset komunikasi. Sebagai contoh, teori komunikasi massa populer yang disebut agenda setting. Teori ini, karya McCombs dan Shaw (1972), mengemukakan bahwa meskipun media tidak memberi tahu kita apa yang harus dipikirkan, tetapi media memberi tahu kita apa yang harus dipikirkan. Dengan kata lain, ketika media menyajikan suatu acara, media memengaruhi pemirsanya untuk memandang peristiwa tersebut sebagai hal yang penting. Teori ini telah diterima secara luas oleh para peneliti komunikasi massa dan studi-studi yang berdasarkan teori ini dilakukan secara teratur. Posmodernis akan mengatakan agenda setting sebagai “suatu cerita” yang memberi tahu kita sedikit tentang pentingnya sifat dan kualitas pengalaman media individu dan apakah terdapat perbedaan dalam berpikir di antara para konsumen media, perbedaan-perbedaan apa ini, dan apa artinya, tetapi cerita tersebut memberi tahu banyak tentang mengapa teori tersebut sangat populer – ini memvalidasi karya peneliti komunikasi massa.
Harus diakui adanya konflik kepentingan di sini, yaitu antara “teori” dan minat mereka yang mengusulkan dan “mempelajari” teori tersebut – dan mengakui batas-batas setiap cerita yang mencoba menjelaskan atau menangkap realitas. Bagi posmodernis, “kemungkinan adanya kepastian harus dipandang dengan keraguan, jika tidak ditolak mentah-mentah. Posmodernis meragukan “kemungkinan adanya teori atau penjelasan yang utuh atau exhaustive (Gubrium&Holstein, 1997).
Pendekatan posmodern pada dasarnya “membantah asumsi yang mendasari ilmu sosial mainstream dan produk penelitiannya (Rosenau, 1992), sehingga pendekatan penelitian baru mungkin, misalnya, fokus “pada apa yang telah diterima begitu saja, apa yang telah diabaikan secara signifikan, yang ditekan, yang ditolak, marjinal, tidak disengaja, semua yang tidak pernah dipedulikan oleh zaman modern dengan detail tertentu, dengan segala jenis kekhususan “(Rosenau, Nelson, 1987, Pfeil, 1988). Posmodernis sering mendefinisikan segala sesuatu sebagai teks dan berusaha untuk “menemukan” makna daripada “menemukannya”. Mereka jarang “menolak,” tetapi melihat diri mereka sebagai “peduli dengan,” atau “tertarik pada” sesuatu (Rasenau, 1992). Pendekatan posmodern akan melibatkan “penyatuan unsur-unsur dari sejumlah orientasi yang berbeda, bahkan yang bertentangan.” Ini mungkin menggunakan beberapa aspek strukturalisme, romantisme, eksistensialisme, hermeneutika, Marxisme, teori kritis, bahkan positivisme, antara lain. Tetapi tidak akan mengadopsi orientasi ini sebagai satu-satunya cara untuk memeriksa dan memahami fenomena budaya. Singkatnya, pendekatan posmodern akan menolak “pemaksaan sewenang-wenang dari sudut pandang tunggal, sistemik,” tetapi akan menerima “perspektif yang berbeda, bahkan kontradiktif” (Rosenau). Penelitian tidak lagi menjadi pencarian untuk “kebenaran,” melainkan pencarian untuk “kejelasan.” Semua ini mungkin tampaknya menyarankan perubahan yang akan terlalu ekstrem, terlalu mengganggu kegiatan penelitian sehingga berguna atau bermakna. Dapat mengambil pendekatan ekstrem dalam menerapkan pemikiran postmodern untuk kegiatan riset, pendekatan semacam itu mungkin bukan cara terbaik untuk menghasilkan perubahan positif. Ada perbedaan pendapat di kalangan posmodernis tentang seberapa banyak perubahan itu, diperlukan, atau lebih spesifiknya, berapa banyak modifikasi metode saat ini diperlukan untuk menempatkan penelitian sejalan dengan budaya kontemporer. Ketidaksepakatan ini bergantung pada pandangan dunia seseorang. Posmodernis skeptis memiliki pandangan yang agak negatif dan suram pada sebagian besar aspek budaya kontemporer. Mereka sering merasa bahwa fragmentasi, disintegrasi, tidak berarti, dan ketidakjelasan menjadi ciri kehidupan dalam budaya kontemporer. Di sisi lain, posmodernis afirmatif memiliki pandangan yang lebih penuh harapan, lebih optimis dari zaman sekarang (Rcsenau, 1992). Afirmatif berusaha merevisi daripada mengabaikan epistemologi dan metodologi modern. Mereka ingin mempertahankan nalar dan rasionalitas sampai taraf tertentu (Rosenau, 1992). Dengan kata lain, pandangan penelitian baru ini akan merevisi beberapa metodologi penelitian saat ini dan menawarkan pendekatan baru dalam upaya untuk memasukkan pemikiran posmodern dalam komunikasi utama/kegiatan penelitian berskala sosial. Ini akan menghasilkan “ilmu sosial posmodern yang akan lebih luas diukur dan deskriptif daripada prediksi dan berorientasi kebijakan.” Itu akan mengenali kekayaan perbedaan dalam budaya dan mendorong interpretasi. Itu akan mengenali makna pribadi, tetapi tidak akan memaksakan makna ini pada orang lain (Hirschman, 1987). Ini akan menarik metodenya dari sejumlah orientasi yang berbeda, tetapi tidak akan menyajikan metode atau serangkaian metode, atau serangkaian filosofi apa pun, sebagai satu-satunya yang dapat menemukan dan memahami fenomena budaya kontemporer.
Banyak pertanyaan tentang komunikasi yang dapat diajukan. Salah satu cara untuk menjawab pertanyaan yang kita miliki adalah dengan melakukan studi penelitian. Sebuah penelitian yang dilakukan dengan benar sering kali memberi kita bukti dunia nyata yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan kita. Bukti dunia nyata seperti itu biasanya lebih persuasif daripada perasaan seseorang tentang sesuatu.
Daftar Pustaka
Berger, C. R.&Chaffee, S. H. (1987). The Study of Communication as a Science. Handbook of Communication Science. Sage Publications.
Bungin, H. M. B. (2005) Metodologi Penelitian Kuantitatif – Komunikasi, Ekonomi, dan Kebijakan Publik serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya. Kencana Prenadamedia Group.
Capra, F. (1982). The Turning Point. Bantam Books.
Creswell, J. W. (2014). Research Design, Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. Sage Publication, Inc.
Delia, J. C. (1987). Communication Research: A History. Handbook of Communication Science. Sage Publications.
Leshan, L.&Margenau, H. (1982). Einstein’s Space and Van Gogh’s Sky. Collier Books.
Lincoln, Y. S. (1998). The Ethics of Teaching in Qualitative Research. Qualitative Inquiry.
Neuman, W. L. (2000). Social Research Methods – Qualitative and Quantitative Approaches. Allyn and Bacon.
Rosenau, P. M. (1992). Postmodernism and the Social Sciences. Princeton University Press.
Shipman, M. (1997). The Limitations of Social Research. Longman
Wijayati&Rachmawati (2019). Postmodernisme – Sebuah Pemikiran Filsuf Abad 20. Sociality.
PENELITIAN KOMUNIKASI DENGAN PENDEKATAN POSMODERNISME
Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk berpikir senantiasa mencari kebenaran. Khususnya “kaum intelektual” seperti akademisi, para peneliti, menghamburkan waktunya sebagian untuk “mencari kebenaran” melalui apa yang disebut penelitian, yaitu penelitian ilmiah. Setiap penelitian tidak bisa terlepas dari yang disebut dengan paradigma penelitian. Creswell (2014) menggunakan istilah world view untuk paradigma. Paradigma itu sendiri adalah kepercayaan dasar yang memandu tindakan. Secara sepintas dapat dinyatakan bahwa paradigma penelitian adalah kepercayaan dasar yang dianut peneliti yang dijadikan pedoman peneliti dalam menempuh langkah-langkah spesifik dalam penelitian yang dilakukannya. Dari uraian ini menjadi jelas betapa berpengaruhnya paradigma terhadap perjalanan penelitian. Seiring dengan perubahan-perubahan periode kultural, alternatif-alternatif terhadap paradigma penelitian bertambah, demikian pula halnya dengan paradigma-paradigma yang digunakan dalam penelitian komunikasi menjadi lebih beragam. Posmodernisme (post-modernism) merupakan salah satu paradigma baru yang populer di akhir abad keduapuluh. Terlepas dari pujian maupun ejekan terhadap paradigma baru ini, cara pikir posmodernisme menuntut revisi terhadap metode-metode penelitian komunikasi yang sudah biasa dipergunakan dengan paradigma-paradigma sebelummya. Karya kecil ini mengarahkan para peneliti di lapangan ilmu komunikasi mengenai bagaimana metode penelitian komunikasi diterapkan dengan gaya posmodernisme ini.
Posmodernisme secara singkat
Diartikan secara harfiah, posmodernisme (dari kata post-modernism) berarti setelah-modernisme atau pascamodernisme. Apabila kita merujuk pada deret waktu, memang posmodernisme muncul setelah munculnya modernisme. Tetapi ini bukan berarti bahwa posmodernisme muncul setelah modernisme usai. Justru posmodernisme ini muncul ketika masa modernisme berlangsung; postmodernisme muncul di “di tengah” perjalanan modernisme. Posmodernisme ini muncul sebagai reaksi atau sebagai kritik terhadap “cara pikir” modernisme. Modernisme dinilai telah gagal di dalam mengatasi isu-isu budaya dan sosial yang penting, seperti kemiskinan, ketidakadilan sosial, kerusakan dalam penyelenggaraan dunia politik, ekonomi, dan sebagainya. Lebih khusus lagi, eksploitasi tenaga kerja, kejahatan genosida, disintegrasi bangsa, juga merupakan bukti kegagalan cara pikir modernisme.
Tidak ada definisi yang tepat bagi posmodernisme. Tetapi ini bukan berarti bahwa posmodernisme tidak dapat dipahami. Untuk memahami ini, salah satu yang mungkin adalah memahami terlebih dahulu bagaimana modernisme, karena posmodernisme merupakan kritik terhadap modernisme. Modernisme didominasi oleh pengagung-agungan terhadap rasio dan metode ilmiah, yang pada akhirnya menghasilkan teknologi canggih dan kemajuan lainnya. Dalam pandangan modernisme, buah rasio manusia merupakan segala-galanya dan akan membawakan manusia pada kemakmuran, keadilan, ketenteraman, dan harmoni. Kapan era modernisme dan apa ciri-cirinya? Walaupun tidak ada kesamaan pendapat mengenai kapan era modernisme tersebut, sebagian menganggap era modernisme berlangsung 1850-1965. Era modernisme ini ditandai dengan: 1) metode ilmiah diterima sebagai satu-satunya pendekatan yang sahih untuk mendapatkan pengetahuan, 2) alam semesta dipandang sebagai suatu sistem mekanis yang tersusun atas bahan-bahan dasar bangunan, 3) kehidupan dipahami sebagai suatu perjuangan kompetitifuntuk mempertahankan hidup, dan 4) kemajuan material tanpa batas dapat dilakukan melalui pertumbuhan ekonomi dan teknologi yang berkelanjutan (Capra, 1982). Keempat ciri tersebut menjadi asumsi yang dominan dari era modernisme. Sepanjang abad ke-19, para ilmuwan terus mendalami model mekanistik alam semesta dalam ilmu fisika, kimia, biologi, psikologi, dan ilmu-ilmu sosial (Capra, 1982). Di era modernisme ini pula, paradigma positivistik banyak memayungi penelitian ilmu alam maupun ilmu sosial, termasuk ilmu komunikasi. Positivisme timbul dari pemikiran Auguste Comte (1798-1957), seorang bangsa Perancis yang dianggap sebagai “bapak sosiologi”. Positivisme memiliki lima prinsip berikut: 1) Logika penelitian adalah sama di semua ilmu (baik ilmu sosial maupun ilmu alam), 2) Tujuan dari penelitian adalah untuk menjelaskan dan meramalkan, dan dengan demikian untuk menemukan syarat perlu dan cukup untuk setiap fenomena, 3) Penelitian harus dapat diamati secara empiris dengan indera manusia, dan harus menggunakan logika induktif untuk mengembangkan pernyataan yang dapat diuji, 4) Ilmu pengetahuan berbeda dari akal sehat dan para peneliti harus berhati-hati untuk tidak membiarkan akal sehat membiaskan penelitian mereka, dan 5) Sains harus dinilai dengan logika, dan sebisa mungkin harus bebas nilai. Tujuan akhir sains adalah menghasilkan pengetahuan, terlepas dari politik, moral, nilai, dll. (https://www.philosophybasics.com/branch_positivism.html). Pandangan positivisme ini begitu kuat mengklaim bahwa ilmu (sains) adalah ilmu pengetahuan yang nyata dan positivistik, sehingga ilmu pengetahuan yang tidak positivistik bukanlah ilmu (sains). (Bungin, 2014). Di sini tampak betapa arogannya positivisme, sehingga penelitian-penelitian ilmu komunikasi pun harus positivistik apabila ingin disebut sebagai ilmu pengetahuan! Beruntungnya, banyak pula pemikir yang tidak sependapat dengan ajaran positivistik tersebut. Tadi telah disebutkan bahwa modernisme banyak mengagung-agungkan positivisme. Sebagai reaksi atas modernisme yang ternyata telah banyak menimbulkan penderitaan bagi umat manusia (sebagai contoh: bahaya nuklir dalam perang, polusi udara dan eksploitasi tenaga kerja akibat industrialisasi, kejahatan genosida), muncullah isme baru yang dinamakan posmodernisme. Untuk memahami bagaimana cara pandang posmodernisme bertentangan dengan modernisme kita dapat merujuk pada Wijayati dan Rachmawati (2019). Menurut mereka, secara umum posmodernisme memiliki ciri sebagai berikut: 1) Kebenaran bersifat subjektif dan tidak mutlak. Setiap individu dapat membentuk sendiri kebenaran sesuai dengan konteks, waktu, dan tempat. Akibatnya, kebenaran menjadi sesuatu yang beragam. 2) Posmodernisme tidak menerima segala sesuatu yang sifatnya universal dan bertujuan untuk generalisasi, 3) Posmodernisme menolak akan adanya metode ilmiah dalam menemukan kebenaran, karena ini akan mengarah pada kebenaran mutlak. Posmodernisme berpandangan bahwa kebenaran bersifat dinamis. 4) Posmodernisme berpandangan bahwa ilmu pengetahuan yang ada di luar sana tidak bebas nilai (value free). Nilai-nilai tersebut bergantung pada masyarakat yang melingkupinya dan keyakinan penemu ilmu itu sendiri. 5) Intuisi merupakan aspek penting untuk menangkap makna yang ada di dunia, sehingga dapat membebaskan individu dari sesuatu yang membelenggu dirinya. Gejala posmodernisme pun dapat dilihat dari ciri-ciri sosiologis sebagai berikut (Utomo dan Hutapea, 2014): 1) Munculnya pemberontakan secara kritis terhadap modernitas. Kemudian, diterimanya pandangan pluralisme relativisme akan kebenaran dan mulai memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden. 2) Kemunculan radikalisme etnis dan keagamaan. Ini merupakan reaksi terhadap orang-orang yang mulai meragukan kebenaran sains, teknologi, dan filsafat yang dinilai telah gagal memenuhi janjinya, berupa pembebasan manusia. Yang terjadi sebaliknya, penindasan. 3) Industri media massa yang semakin marak. 4) Terbukanya peluang yang lebih besar bagi kelompok sosial untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas, 5) Wilayah perkotaan menjadi pusat kebudayaan. 6) Timbulnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi, 7) Bahasa dalam konsep posmodernisme seringkali mencerminkan ketidakjelasan makna, 8) Kemunculan eclecticism. Cara pandang posmodernisme ini tentunya membawa pengaruh pada penelitian sosial, sehingga penelitian sosial yang posmodernis memiliki sifat-sifat sebagai berikut (Neuman, 2000): 1) penolakan terhadap semua ideologi dan sistem kepercayaan yang terorganisir, termasuk semua teori sosial. 2) sangat mengandalkan intuisi, imajinasi, pengalaman pribadi, dan emosi. 3) rasa ketidakberartian dan pesimisme, keyakinan bahwa dunia tidak akan pernah membaik, 4) subjektivitas ekstrim, tidak ada perbedaan antara dunia mental dan dunia luar, 5) relativisme yang sangat, di mana tak berhingga banyaknya interpretasi, tidak ada yang superior atas yang lain, 6) mendukung perbedaan, chaos, dan kompleksitas yang terus berubah, 7) penolakan untuk mempelajari masa lalu atau tempat yang berbeda karena hanya di sini dan saat ini yang relevan, 8) keyakinan bahwa kausalitas tidak dapat dipelajari karena kehidupan terlalu kompleks dan berubah cepat, 9) pernyataan tegas bahwa penelitian tidak akan pernah benar-benar mewakili apa yang terjadi di dunia sosial.
Uraian di atas telah menunjukkan betapa berbeda pandangan modernisme dengan posmodernisme, khususnya pada cara mereka memandang realitas dan mendapatkan pengetahuan. Dalam kaitannya dengan mendapatkan pengetahuan, posmodernisme tentunya membawa warna sendiri bagi corak penelitian sosial pada umumnya, dan dalam kasus ini adalah penelitian komunikasi.
Penelitian komunikasi gaya posmodernisme
Pengaruh modernisme masih terasa dalam penelitian-penelitian komunikasi. Selama lebih dari 100 tahun, penelitian-penelitian komunikasi (dan pada umumnya penelitian sosial) merupakan penelitian yang sifatnya eksplanatif dan berupaya meramalkan perilaku manusia (Shipman, 1997). Walaupun penelitian komunikasi dimulai sejak sekitar tahun 1920, penelitian ini dipengaruhi tradisi ilmu sosial umum. “Konsep ilmu komunikasi manusia bertumpu pada asumsi optimis bahwa perilaku dapat dipahami dan ditingkatkan melalui studi sistematis.” Penelitian perilaku komunikasi menghasilkan pemahaman, penjelasan, prediksi, dan pengendalian (Berger & Chaffee, 1987).
Meskipun Carl Hovland dan Paul Lazarsfeld, dan juga para peneliti lainnya, menetapkan landasan filosofis dan pendekatan-pendekatan dasar bagi penelitian komunikasi selama tahun-tahun awal, penelitian komunikasi mengalami periode perkembangan terbesar pada tahun-tahun setelah Perang Dunia II. “Konsentrasi pada survei dan penelitian eksperimental dan preferensi terhadap data kuantitatif dan analisis statistik … membentuk hirarki metode yang jelas” yang mengurangi eksistensi pendekatan metodologis lainnya. Selain itu, teks-teks metode penelitian yang digunakan “untuk melatih generasi baru para peneliti komunikasi terkonsentrasi hampir seluruhnya pada teknik survei, eksperimental, dan statistika” (Delia, 1987). Namun, dalam beberapa tahun terakhir pandangan kuantitatif yang dominan ini telah sedikit diubah dan metodologi-metodologi kualitatif dianggap sahih/valid. Namun, pendekatan kuantitatif tetap merupakan pengaruh yang kuat dan terbesar di bidang penelitian komunikasi. Penelitian komunikasi, bersama dengan penelitian dalam disiplin ilmu seperti psikologi, sosiologi, dan ilmu politik, berada dalam tradisi ilmu sosial mainstream, sebuah tradisi yang didasarkan pada paradigma yang terkenal dengan nama paradigma mekanis Newton.
Setelah kita mengetahui perubahan pemikiran yang dihasilkan dari budaya posmodernisme, kita dapat mempertanyakan hal-hal yang sangat mendasar dalam penelitian komunikasi. Para opinion leader komunikasi telah mendefinisikan dalam area mana seseorang dapat meneliti, dan mereka telah mendefinisikannya dengan tepat. Definisi umum dari “ilmu komunikasi” adalah sebagai berikut: “Ilmu komunikasi berusaha untuk memahami produksi, pemrosesan, dan dampak dari sistem simbol dan sinyal dengan mengembangkan teori-teori yang dapat diuji, yang memuat generalisasi yang sah, yang menjelaskan fenomena yang terkait dengan produksi, pemrosesan, dan dampak-dampak tersebut” (Berger&Chaffee, 1987). Dengan sementara mengabaikan kualitas yang agak samar dari definisi ini, perhatikan bahwa “sebagian besar sarjana dalam disiplin ilmu ini melihat kesesuaian yang cukup erat antara penelitian mereka dengan pandangan yang dikemukakan definisi tersebut” (Berger&Chaffee, 1987). Walau demikian, sebagian peneliti komunikasi dianggap tidak melakukan penelitian komunikasi karena pekerjaan mereka tidak “berasal dari teori ilmiah apa pun.” Lebih lanjut, “peneliti yang tugasnya membuat penilaian etis atau moral tentang perilaku komunikasi orang atau institusi, bukanlah ilmuwan komunikasi” menurut definisi sebelumnya. Mereka juga dianggap bukan reformis yang berusaha mengubah kebijakan publik dan bukan juga analis yang berusaha menjelaskan peristiwa komunikasi individu dengan cara mereka sendiri, apabila mereka tidak ditopang prinsip-prinsip teoretis yang lebih luas” (Berger&Chaffee, 1987). Dengan kata lain, sejumlah kecil ilmuwan komunikasi, semuanya tampak mengikuti pemikiran ilmu sosial mainstream, telah mendefinisikan bidang penelitian komunikasi sesuai dengan apa yang mereka lakukan, dan karena mereka mengacu pada definisi ini, mereka adalah satu-satunya “penengah” dari hal-hal yang merupakan kegiatan penelitian yang tepat. Adalah pandangan sempit tentang apa itu ilmu komunikasi dan pembatasan penggalian pengetahuan sebagai akibatnya itulah yang ditolak oleh kaum posmodernis.
Ada sedikit keraguan bahwa ilmu-ilmu humaniora terlibat dalam perdebatan panjang tentang paradigma dan metode-metode penelitian “(Lincoln, 1998). “Jika, misalnya (seperti pendapat kaum posmodernis), tidak ada realitas tunggal tempat mana ilmu sosial harus dapat bertemu, maka kita harus mengumpulkan berbagai versi realitas (atau konstruksi sosial terhadap realitas). Seperti yang dikatakan Leshan dan Margenau (1982), “kita tidak dapat hanya memiliki sekumpulan prinsip tentang bagaimana realitas berlangsung”. Lyotard (1984) berpendapat bahwa pengetahuan ilmiah merupakan sejenis wacana, tetapi itu tidak mewakili totalitas pengetahuan; pengetahuan ilmiah selalu berdampingan dengan jenis pengetahuan lain (bahkan kadang-kadang bertentangan).
Tidak mudah untuk membangun cara baru dalam melakukan penelitian, atau bahkan memodifikasi beberapa cara penelitian yang berlangsung sekarang. Metode-metode dan praktik saat ini sangat mendarah daging di berbagai program studi ilmu komunikasi dan jurnal-jurnal penelitian. Para individu yang melakukan penelitian dan mereka yang memiliki posisi kuat sebagai editor jurnal ilmiah, bersama dengan mereka yang menyatakan penelitian sebagai wilayah mereka di program studi, kemungkinan tidak akan mau menerima banyak perubahan dalam kaitannya dengan posmodernisme. Meskipun perubahan tidak terhindarkan, banyak orang tidak mau menerima perubahan jika mengakibatkan mereka harus mengubah gaya meneliti mereka sendiri secara signifikan.
“Posmodernisme merupakan upaya terbaik peradaban Barat sampai saat ini untuk mengkritisi asumsi yang paling mendasarnya sendiri, khususnya asumsi-asumsi yang mendasari realitas, subjektivitas, penelitian, dan pengetahuan” (Scheurich, 1997). Ilmu komunikasi /ilmu sosial yang sekarang berusaha “untuk menurunkan aturan ilmiah yang ketat untuk menciptakan korespondensi satu-satu antara apakah realitas itu dan bagaimana realitas diwakili dalam penelitian sehingga representasi tersebut tidak menimbulkan bias oleh peneliti …” (Scheurich, 1997). Penelitian ilmu sosial saat ini, yang biasa disebut positivisme, mengangkat ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya sumber kebenaran absolut. “Bagi kaum positivis, cara untuk mengetahui (epistemologi positivis) menjamin fakta bahwa representasi penelitian dari realitas benar-benar mewakili kenyataan” (Scheurich, 1997). Posmodernis merasa ini salah karena dalam budaya kontemporer, “realitas adalah produksi sosial yang dipentaskan” (Denzin, 1991), tidaklah mungkin untuk menghilangkan bias peneliti, dan kebenaran absolut mungkin tidak ada.
Posmodernis memandang metodologi penelitian saat ini hanya sebagai metanarasi. Menurut Lyotard, metanarasi adalah “prinsip-prinsip dan mitologi penuntun universal, yang dulunya tampak mengendalikan, membatasi, dan menafsirkan semua bentuk beragam dari aktivitas diskursif di dunia” (Connor, 1989). Lyotard mendesak kita untuk tidak terlalu percaya akan metanarasi. Metanarasi hanyalah cara orang mengorganisir dan memperoleh makna dari pengalaman, dan tidak ada bukti yang jelas bahwa suatu metanarasi lebih baik daripada metanarasi lain. “Narasi-narasi besar, yang dahulu disebut “teori”, sekarang dipandang sebagai “cerita”, kisah-kisah besar yang diceritakan mengenai kehidupan sosial dan dihubungkan dengan perspektif dan minat para penutur cerita mereka” (Gubrium & Holstein, 1997).
Adalah mudah untuk melihat bagaimana konsep ini berlaku dalam riset komunikasi. Sebagai contoh, teori komunikasi massa populer yang disebut agenda setting. Teori ini, karya McCombs dan Shaw (1972), mengemukakan bahwa meskipun media tidak memberi tahu kita apa yang harus dipikirkan, tetapi media memberi tahu kita apa yang harus dipikirkan. Dengan kata lain, ketika media menyajikan suatu acara, media memengaruhi pemirsanya untuk memandang peristiwa tersebut sebagai hal yang penting. Teori ini telah diterima secara luas oleh para peneliti komunikasi massa dan studi-studi yang berdasarkan teori ini dilakukan secara teratur. Posmodernis akan mengatakan agenda setting sebagai “suatu cerita” yang memberi tahu kita sedikit tentang pentingnya sifat dan kualitas pengalaman media individu dan apakah terdapat perbedaan dalam berpikir di antara para konsumen media, perbedaan-perbedaan apa ini, dan apa artinya, tetapi cerita tersebut memberi tahu banyak tentang mengapa teori tersebut sangat populer – ini memvalidasi karya peneliti komunikasi massa.
Harus diakui adanya konflik kepentingan di sini, yaitu antara “teori” dan minat mereka yang mengusulkan dan “mempelajari” teori tersebut – dan mengakui batas-batas setiap cerita yang mencoba menjelaskan atau menangkap realitas. Bagi posmodernis, “kemungkinan adanya kepastian harus dipandang dengan keraguan, jika tidak ditolak mentah-mentah. Posmodernis meragukan “kemungkinan adanya teori atau penjelasan yang utuh atau exhaustive (Gubrium&Holstein, 1997).
Pendekatan posmodern pada dasarnya “membantah asumsi yang mendasari ilmu sosial mainstream dan produk penelitiannya (Rosenau, 1992), sehingga pendekatan penelitian baru mungkin, misalnya, fokus “pada apa yang telah diterima begitu saja, apa yang telah diabaikan secara signifikan, yang ditekan, yang ditolak, marjinal, tidak disengaja, semua yang tidak pernah dipedulikan oleh zaman modern dengan detail tertentu, dengan segala jenis kekhususan “(Rosenau, Nelson, 1987, Pfeil, 1988). Posmodernis sering mendefinisikan segala sesuatu sebagai teks dan berusaha untuk “menemukan” makna daripada “menemukannya”. Mereka jarang “menolak,” tetapi melihat diri mereka sebagai “peduli dengan,” atau “tertarik pada” sesuatu (Rasenau, 1992). Pendekatan posmodern akan melibatkan “penyatuan unsur-unsur dari sejumlah orientasi yang berbeda, bahkan yang bertentangan.” Ini mungkin menggunakan beberapa aspek strukturalisme, romantisme, eksistensialisme, hermeneutika, Marxisme, teori kritis, bahkan positivisme, antara lain. Tetapi tidak akan mengadopsi orientasi ini sebagai satu-satunya cara untuk memeriksa dan memahami fenomena budaya. Singkatnya, pendekatan posmodern akan menolak “pemaksaan sewenang-wenang dari sudut pandang tunggal, sistemik,” tetapi akan menerima “perspektif yang berbeda, bahkan kontradiktif” (Rosenau). Penelitian tidak lagi menjadi pencarian untuk “kebenaran,” melainkan pencarian untuk “kejelasan.” Semua ini mungkin tampaknya menyarankan perubahan yang akan terlalu ekstrem, terlalu mengganggu kegiatan penelitian sehingga berguna atau bermakna. Dapat mengambil pendekatan ekstrem dalam menerapkan pemikiran postmodern untuk kegiatan riset, pendekatan semacam itu mungkin bukan cara terbaik untuk menghasilkan perubahan positif. Ada perbedaan pendapat di kalangan posmodernis tentang seberapa banyak perubahan itu, diperlukan, atau lebih spesifiknya, berapa banyak modifikasi metode saat ini diperlukan untuk menempatkan penelitian sejalan dengan budaya kontemporer. Ketidaksepakatan ini bergantung pada pandangan dunia seseorang. Posmodernis skeptis memiliki pandangan yang agak negatif dan suram pada sebagian besar aspek budaya kontemporer. Mereka sering merasa bahwa fragmentasi, disintegrasi, tidak berarti, dan ketidakjelasan menjadi ciri kehidupan dalam budaya kontemporer. Di sisi lain, posmodernis afirmatif memiliki pandangan yang lebih penuh harapan, lebih optimis dari zaman sekarang (Rcsenau, 1992). Afirmatif berusaha merevisi daripada mengabaikan epistemologi dan metodologi modern. Mereka ingin mempertahankan nalar dan rasionalitas sampai taraf tertentu (Rosenau, 1992). Dengan kata lain, pandangan penelitian baru ini akan merevisi beberapa metodologi penelitian saat ini dan menawarkan pendekatan baru dalam upaya untuk memasukkan pemikiran posmodern dalam komunikasi utama/kegiatan penelitian berskala sosial. Ini akan menghasilkan “ilmu sosial posmodern yang akan lebih luas diukur dan deskriptif daripada prediksi dan berorientasi kebijakan.” Itu akan mengenali kekayaan perbedaan dalam budaya dan mendorong interpretasi. Itu akan mengenali makna pribadi, tetapi tidak akan memaksakan makna ini pada orang lain (Hirschman, 1987). Ini akan menarik metodenya dari sejumlah orientasi yang berbeda, tetapi tidak akan menyajikan metode atau serangkaian metode, atau serangkaian filosofi apa pun, sebagai satu-satunya yang dapat menemukan dan memahami fenomena budaya kontemporer.
Banyak pertanyaan tentang komunikasi yang dapat diajukan. Salah satu cara untuk menjawab pertanyaan yang kita miliki adalah dengan melakukan studi penelitian. Sebuah penelitian yang dilakukan dengan benar sering kali memberi kita bukti dunia nyata yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan kita. Bukti dunia nyata seperti itu biasanya lebih persuasif daripada perasaan seseorang tentang sesuatu.
Daftar Pustaka
Berger, C. R.&Chaffee, S. H. (1987). The Study of Communication as a Science. Handbook of Communication Science. Sage Publications.
Bungin, H. M. B. (2005) Metodologi Penelitian Kuantitatif – Komunikasi, Ekonomi, dan Kebijakan Publik serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya. Kencana Prenadamedia Group.
Capra, F. (1982). The Turning Point. Bantam Books.
Creswell, J. W. (2014). Research Design, Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. Sage Publication, Inc.
Delia, J. C. (1987). Communication Research: A History. Handbook of Communication Science. Sage Publications.
Leshan, L.&Margenau, H. (1982). Einstein’s Space and Van Gogh’s Sky. Collier Books.
Lincoln, Y. S. (1998). The Ethics of Teaching in Qualitative Research. Qualitative Inquiry.
Neuman, W. L. (2000). Social Research Methods – Qualitative and Quantitative Approaches. Allyn and Bacon.
Rosenau, P. M. (1992). Postmodernism and the Social Sciences. Princeton University Press.
Shipman, M. (1997). The Limitations of Social Research. Longman
Wijayati&Rachmawati (2019). Postmodernisme – Sebuah Pemikiran Filsuf Abad 20. Sociality.
Bagikan ini:
Most visitors also read :
KESALAHAN SANG PROFESOR
TAFSIRAN GEOMETRIS KOMPONEN UTAMA
KOMPONEN UTAMA POPULASI (POPULATION PRINCIPAL COMPONENTS)
RANCANGAN PENELITIAN KUANTITATIF