Apakah itu suatu fiksi? Dalam hal suatu fiksi pembentuk undang-undang menganggap sesuatu telah ada sedang itu belum ada, atau sesuatu dianggap benar sedang itu tidak benar, atau sebaliknya. Contoh suatu fiksi dalam pasal 2 Kitab Undang-Undang Perdata, yaitu dalam mana pembentuk undang-undang menetapkan: “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, saban kali kepentingan-kepentingan si anak menghendakinya.” Jadi anak yang dalam kandungan yang belum ada dianggap sebagai telah dilahirkan apabila kepentingannya menuntut. Inilah yang dimaksudkan dengan fiksi.
Fiksi ini jangan dikacaukan dengan persangkaan (vermoeden); persangkaan lain dan tidak sama dengan fiksi. Dalam hal persangkaan sesuatu telah terjadi atau benar sedang itu belum pasti. Bila membaca Kitab Undang-Undang Perdata kita ternyata bahwa pembentuk undang-undang mengenal 2 golongan persangkaan-persangkaan, yaitu:
Persangkaan-persangkaan menurut undang-undang atau wettelijke vermoeden.
Persangkaan-persangkaan sesungguhnya, feitelijke vermoeden atau rechterlijke vermoeden.
Persangkaan sesungguhnya umpamanya apabila Saudara harus membuktikan sesuatu, bahwa Saudara tidak dapat merupakan pihak yang mengadakan perjanjian di Jakarta karena Saudara sedang berada di New York. Jadi pada ketika diadakan perjanjian Saudara sedang berada di New York; jadi tidak mungkin mengadakan perjanjian. Inilah yang dinamakan persangkaan sesungguhnya.
Persangkaan menurut undang-undang ada 2 macam:
Praesumptio iuris, pada umumnya merupakan persangkaan-persangkaan terhadap mana diperkenankan pembuktian lawan.
Tetapi ada persangkaan-persangkaan terhadap mana tidak diperkenankan pembuktian lawan.
Pembentuk undang-undang mengadakan perbedaan di mana diperkenankan pembuktian lawan dan di mana tidak diperkenankan pembuktian lawan. Persangkaan terhadap mana diperkenankan pembuktian lawan dinamakan praesumptio iuris tantum; dan persangkaan terhadap mana tidak diperkenankan pembuktian lawan dinamakan praesumptio iuris et de iure.
ISTIRAHAT
Contoh praesumptio iuris tantum, yaitu persangkaan terhadap mana diperkenankan pembuktian lawan:
Pasal 250 Kitab Undang-Undang Perdata yang berbunyi sebagai berikut: “Seorang anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan mempunyai suami ibunya sebagai bapaknya.” Jadi apabila bapaknya menyangkal bahwa ia adalah bapaknya anak itu, ia (bapaknya) harus membuktikan. Jadi inilah merupakan praesumptio iuris tantum; persangkaan terhadap mana diperkenankan pembuktian lawan.
Apabila Saudara telah membayar sewa rumah dan dapat menunjukkan 3 kuitansi dari 3 bulan berturut-turut (umpamanya dari bulan-bulan Agustus, September, dan Oktober), Saudara disangka telah membayar sewa rumah sebelum bulan Agustus. Apabila pemilik rumah itu menyangkal, ia harus membuktikan. Inilah suatu praesumptio iuris tantum.
Suatu contoh dari praesumptio iuris et de iure, persangkaan terhadap mana tidak diperkenankan pembuktian lawan: Apabila Saudara berpiutang mengembalikan surat hutang di bawah tangan secara sukarela, maka dalam hal demikian timbul persangkaan bahwa si berhutang itu dibebaskan dari pembayaran hutangnya; dan terhadap ini tidak diperkenankan pembuktian lawan.
Yang menjadi pertanyaan, apakah fiksi-fiksi ini diperlukan oleh undang-undang? Tidak! Pembentuk undang-undang mempergunakan fiksi-fiksi ini untuk menyingkatkan ketentuan-ketentuan undang-undang. Umpamanya kita semua mengerti bahwa juga kepentingan-kepentingan seorang anak yang belum dilahirkan harus dilindungi. Dan untuk melindungi kepentingan-kepentingan seorang anak yang masih dalam kandungan pembentuk undang-undang dapat membuat ketentuan-ketentuan tersendiri. Tetapi untuk menyingkatkan ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Perdata, dengan gampang pembentuk undang-undang menetapkan pasal 2 ayat 1, dalam mana disamakan anak yang masih dalam kandungan dengan yang telah lahir, tiap kali kepentingannya menuntut. Tetapi fiksi itu tidak dibutuhkan undang-undang, dan tugas Ilmu Hukum Dogmatik yaitu untuk menyusun ketentuan undang-undang demikian rupa sehingga fiksi-fiksi dapat disingkirkan dari ketentuan-ketentuan tersebut.
ILMU HUKUM (10)
Apakah itu suatu fiksi? Dalam hal suatu fiksi pembentuk undang-undang menganggap sesuatu telah ada sedang itu belum ada, atau sesuatu dianggap benar sedang itu tidak benar, atau sebaliknya. Contoh suatu fiksi dalam pasal 2 Kitab Undang-Undang Perdata, yaitu dalam mana pembentuk undang-undang menetapkan: “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, saban kali kepentingan-kepentingan si anak menghendakinya.” Jadi anak yang dalam kandungan yang belum ada dianggap sebagai telah dilahirkan apabila kepentingannya menuntut. Inilah yang dimaksudkan dengan fiksi.
Fiksi ini jangan dikacaukan dengan persangkaan (vermoeden); persangkaan lain dan tidak sama dengan fiksi. Dalam hal persangkaan sesuatu telah terjadi atau benar sedang itu belum pasti. Bila membaca Kitab Undang-Undang Perdata kita ternyata bahwa pembentuk undang-undang mengenal 2 golongan persangkaan-persangkaan, yaitu:
Persangkaan sesungguhnya umpamanya apabila Saudara harus membuktikan sesuatu, bahwa Saudara tidak dapat merupakan pihak yang mengadakan perjanjian di Jakarta karena Saudara sedang berada di New York. Jadi pada ketika diadakan perjanjian Saudara sedang berada di New York; jadi tidak mungkin mengadakan perjanjian. Inilah yang dinamakan persangkaan sesungguhnya.
Persangkaan menurut undang-undang ada 2 macam:
Pembentuk undang-undang mengadakan perbedaan di mana diperkenankan pembuktian lawan dan di mana tidak diperkenankan pembuktian lawan. Persangkaan terhadap mana diperkenankan pembuktian lawan dinamakan praesumptio iuris tantum; dan persangkaan terhadap mana tidak diperkenankan pembuktian lawan dinamakan praesumptio iuris et de iure.
ISTIRAHAT
Contoh praesumptio iuris tantum, yaitu persangkaan terhadap mana diperkenankan pembuktian lawan:
Suatu contoh dari praesumptio iuris et de iure, persangkaan terhadap mana tidak diperkenankan pembuktian lawan: Apabila Saudara berpiutang mengembalikan surat hutang di bawah tangan secara sukarela, maka dalam hal demikian timbul persangkaan bahwa si berhutang itu dibebaskan dari pembayaran hutangnya; dan terhadap ini tidak diperkenankan pembuktian lawan.
Yang menjadi pertanyaan, apakah fiksi-fiksi ini diperlukan oleh undang-undang? Tidak! Pembentuk undang-undang mempergunakan fiksi-fiksi ini untuk menyingkatkan ketentuan-ketentuan undang-undang. Umpamanya kita semua mengerti bahwa juga kepentingan-kepentingan seorang anak yang belum dilahirkan harus dilindungi. Dan untuk melindungi kepentingan-kepentingan seorang anak yang masih dalam kandungan pembentuk undang-undang dapat membuat ketentuan-ketentuan tersendiri. Tetapi untuk menyingkatkan ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Perdata, dengan gampang pembentuk undang-undang menetapkan pasal 2 ayat 1, dalam mana disamakan anak yang masih dalam kandungan dengan yang telah lahir, tiap kali kepentingannya menuntut. Tetapi fiksi itu tidak dibutuhkan undang-undang, dan tugas Ilmu Hukum Dogmatik yaitu untuk menyusun ketentuan undang-undang demikian rupa sehingga fiksi-fiksi dapat disingkirkan dari ketentuan-ketentuan tersebut.
Bagikan ini:
Most visitors also read :
BAB I: ISTILAH HUKUM PIDANA
SUMBER-SUMBER HUKUM (25)
SUMBER-SUMBER HUKUM (24)
SUMBER-SUMBER HUKUM (23)