Bagi penganut teori-teori ini sistem-sistem hukum berbagai-bagai negara tidak merupakan sistem-sistem hukum yang 100% sempurna. Ini disebabkan karena sistem-sistem hukum itu tidak merupakan suatu pencerminan yang sempurna dari Hukum Alam. Dan adalah tugas ahli hukum untuk mencari tahu isi Hukum Alam itu. Mereka harus mempelajari isi Hukum Alam itu dan mengubah hukum yang berlaku menjadi suatu pencerminan yang sempurna dari Hukum Alam tersebut. Jadi bagi penganut-penganut mazhab Hukum Alam ini, Hukum Alam itu tidak merupakan hukum yang sekarang berlaku, tetapi hukum yang harus berlaku dan yang perlu ditetapkan supaya kehidupan kemasyarakatan menjadi sempurna. Dalam bahasa Latinnya, Hukum Alam itu bukan suatu “jus conditum”, tetapi suatu “jus condendum”.
Para penganut mazhab Hukum Alam mengangkat ini sebagai suatu sistem yang ideal dari hukum positif. Bila memperbandingkan pendapat Prof. Dr. L. BENDER dan mazhab Hukum Alam, maka perbedaan-perbedaan pendapat itu adalah sebagai berikut.
Menurut BENDER, Hukum Alam sebagian dari hukum yang berlaku. Sedang menurut mazhab Hukum Alam, Hukum Alam adalah hukum seluruhnya.
Menurut BENDER, isi Hukum Alam adalah berlainan daripada isi hukum positif; sedang Hukum Alam dan hukum positif itu bersama-sama merupakan hukum satu-satunya. Sebaliknya menurut mazhab Hukum Alam, isi Hukum Alam seharusnya sama dengan isi hukum positif; dan apabila terdapat perbedaan antara isi Hukum Alam dan isi hukum positif itu, itu disebabkan karena isi hukum positif itu belum sempurna karena pengetahuan manusia belum sempurna.
Menurut BENDER Hukum Alam merupakan hukum yang benar-benar berlaku; jadi jus conditum, hukum yang ditetapkan oleh Tuhan. Sedang menurut mazhab Hukum Alam, Hukum Alam itu merupakan sesuatu yang mungkin dan harus ditetapkan sebagai hukum, akan tetapi baru merupakan hukum yang berlaku apabila pembentuk undang-undang menetapkannya dan mengundangkannya dalam bentuk suatu undang-undang; atau dengan kata-kata lain apabila Hukum Alam itu dijadikan hukum positif oleh manusia.
Berhubung dengan apa yang telah dikemukakan, apabila hendak memberi jawaban apakah ada Hukum Alam, selalu harus ditetapkan apakah yang dimaksudkan dengan Hukum Alam.
I S T I R A H A T
Setelah melihat ada beberapa pendapat mengenai Hukum Alam tibalah waktunya menjawab apakah ada Hukum Alam.
Prof. Dr. L. BENDER berpendapat, bahwa memang ada Hukum Alam, dan ia membela pendapatnya sebagai berikut: Kaidah-kaidah “Kamu tidak akan membunuh”, “Kamu tidak akan berzinah”, “Kamu tidak akan mencuri” dan sebagainya merupakan kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh Tuhan dan tidak oleh seorang pembentuk undang-undang, dan oleh karena itu merupakan Hukum Alam.
Sebagai bukti kedua dikemukakan oleh BENDER sebagai berikut: Apabila tidak ada Hukum Alam, maka tidak ada sama sekali hukum; dan karena ada hukum maka dengan sendirinya ada pula Hukum Alam. Apakah ini benar? Untuk membela atau membuktikan dalil ini BENDER mengemukakan sebagai berikut: Apabila tidak ada Hukum Alam, maka sama sekali tidak ada hukum; dan ini berarti tanpa Hukum Alam tidak mungkin ada hukum positif. Dan di dunia terdapat hukum positif; dan hukum positif ini ditetapkan dalam suatu negara oleh suatu kekuasaan legislatif. Kekuasaan legislatif itu berhak membentuk undang-undang dan memaksa orang-orang lain untuk tunduk pada undang-undang itu. Jadi yang menjadi pertanyaan, kata BENDER, dari mana badan legislatif itu mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang dan memaksa orang-orang lain untuk tunduk pada undang-undang?
FILSAFAT HUKUM (11)
Bagi penganut teori-teori ini sistem-sistem hukum berbagai-bagai negara tidak merupakan sistem-sistem hukum yang 100% sempurna. Ini disebabkan karena sistem-sistem hukum itu tidak merupakan suatu pencerminan yang sempurna dari Hukum Alam. Dan adalah tugas ahli hukum untuk mencari tahu isi Hukum Alam itu. Mereka harus mempelajari isi Hukum Alam itu dan mengubah hukum yang berlaku menjadi suatu pencerminan yang sempurna dari Hukum Alam tersebut. Jadi bagi penganut-penganut mazhab Hukum Alam ini, Hukum Alam itu tidak merupakan hukum yang sekarang berlaku, tetapi hukum yang harus berlaku dan yang perlu ditetapkan supaya kehidupan kemasyarakatan menjadi sempurna. Dalam bahasa Latinnya, Hukum Alam itu bukan suatu “jus conditum”, tetapi suatu “jus condendum”.
Para penganut mazhab Hukum Alam mengangkat ini sebagai suatu sistem yang ideal dari hukum positif. Bila memperbandingkan pendapat Prof. Dr. L. BENDER dan mazhab Hukum Alam, maka perbedaan-perbedaan pendapat itu adalah sebagai berikut.
Berhubung dengan apa yang telah dikemukakan, apabila hendak memberi jawaban apakah ada Hukum Alam, selalu harus ditetapkan apakah yang dimaksudkan dengan Hukum Alam.
I S T I R A H A T
Setelah melihat ada beberapa pendapat mengenai Hukum Alam tibalah waktunya menjawab apakah ada Hukum Alam.
Prof. Dr. L. BENDER berpendapat, bahwa memang ada Hukum Alam, dan ia membela pendapatnya sebagai berikut: Kaidah-kaidah “Kamu tidak akan membunuh”, “Kamu tidak akan berzinah”, “Kamu tidak akan mencuri” dan sebagainya merupakan kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh Tuhan dan tidak oleh seorang pembentuk undang-undang, dan oleh karena itu merupakan Hukum Alam.
Sebagai bukti kedua dikemukakan oleh BENDER sebagai berikut: Apabila tidak ada Hukum Alam, maka tidak ada sama sekali hukum; dan karena ada hukum maka dengan sendirinya ada pula Hukum Alam. Apakah ini benar? Untuk membela atau membuktikan dalil ini BENDER mengemukakan sebagai berikut: Apabila tidak ada Hukum Alam, maka sama sekali tidak ada hukum; dan ini berarti tanpa Hukum Alam tidak mungkin ada hukum positif. Dan di dunia terdapat hukum positif; dan hukum positif ini ditetapkan dalam suatu negara oleh suatu kekuasaan legislatif. Kekuasaan legislatif itu berhak membentuk undang-undang dan memaksa orang-orang lain untuk tunduk pada undang-undang itu. Jadi yang menjadi pertanyaan, kata BENDER, dari mana badan legislatif itu mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang dan memaksa orang-orang lain untuk tunduk pada undang-undang?
Bagikan ini:
Most visitors also read :
BAB I: ISTILAH HUKUM PIDANA
SUMBER-SUMBER HUKUM (25)
SUMBER-SUMBER HUKUM (24)
SUMBER-SUMBER HUKUM (23)